Chapter 23 - I Need You

34 5 5
                                    

Happy reading 🌹
*****
Seraphina

Setelah bertengkar dengan Kevin dan mengakhiri hubungan kami, gue langsung tancap gas menuju San Diego Hills, tempat mami bersemayam dalam damai. Gue nggak peduli berapa puluh kilometer jarak yang gue tempuh dari Jakarta Selatan menuju Karawang. Sumpah, gue nggak pernah senekat ini. Gue sama sekali nggak ada persiapan. Bahkan, saldo e-toll aja nggak tahu cukup atau nggak. Cuma ... saat ini ... gue butuh mami. Gue pengin peluk pusara mami, mencari kedamaian. Nggak cuma mami, di sana juga ada makam Lavi. Saudara kembar gue yang meninggal di kandungan mami.

Beberapa kali gue berhenti di bahu jalan dan rest area hanya untuk mengusap air mata yang jatuh terlalu deras. Kalimat yang diucapkan Kevin tadi benar-benar membuat dada gue berdenyut ngilu. Rasanya sesak banget di dada. Rasanya kayak gue baru tenggelam di dasar kolam renang.

Gue memacu mobil dengan kecepatan tinggi sepanjang jalan tol. Dalam hati berdoa supaya sampai di San Diego Hills dengan selamat. Hingga akhirnya pintu masuk San Diego Hills terlihat di depan mata, membuat gue sedikit bernapas lega.

Gue mengurangi kecepatan mobil saat melewati gerbang utama, melaju perlahan menuju Mansion Mount Sinai. Satu yang gue suka di sini. Gue nggak perlu jalan jauh dari tempat parkir menuju makam. Dari tempat parkir pun, makam mami dan Lavi sudah terlihat.

Gue turun dari mobil dan merapikan pakaian. Ingin terlihat rapi saat mengunjungi mami dan Lavi. Dengan menggigit bibir, gue berjalan mendekat. Rasanya berat kali ini.

"Hai, mami. Hai, Lavi," sapa gue susah payah seraya bersimpuh di rerumputan. "Sera datang hari ini."

Tangan gue terulur untuk mengusap batu nisan bertuliskan nama mami dan Lavi bergantian.

"Maaf ya, Sera nggak bawa mawar putih buat mami hari ini," kata gue dengan suara tercekat. "Sera ... Sera kangen ...."

Dan, air mata gue tumpah tanpa bisa dibendung lagi. Biasanya, gue datang ke sini dengan senyuman. Dengan membawa buket bunga mawar putih kesukaan mami, buket bunga Lily untuk Lavi, dan bercerita akan banyak hal. Hari ini ... gue datang menemui mereka dengan tangan kosong dan tangis pilu.

Gue yakin, mami dan Lavi di atas sana nggak suka lihat gue nangis. Tapi, kali ini gue nggak bisa menghentikan tangis gue. Sama seperti dulu saat melihat mami ditimbun di bawah tanah. Walaupun dari tadi gue meyakinkan diri kalau gue kuat, tapi melihat diri gue sekarang ternyata ... gue nggak sekuat itu.

Di saat hati gue mendung, langit pun ikut mendung. Seolah-olah ikut merasakan apa yang gue rasakan sekarang. Dan beberapa saat kemudian, hujan turun dengan derasnya, membasahi tubuh gue yang masih bersimpuh di antara makam mereka. Gue nggak berusaha berteduh. Malah merasa bersyukur hujan turun. Tetes hujannya bisa menyamarkan air mata yang menuruni kedua pipi gue.

Entah, berapa jam gue bersimpuh di tengah makam mami dan Lavi dalam diam. Tidak mengatakan apa pun pada mami dan Lavi. Yang gue lakukan hanyalah mengusap pusara mereka berkali-kali secara bergantian sambil menatapnya dengan penuh rasa rindu. Gue membayangkan wajah mami yang teduh dengan senyumnya yang tulus. Gue juga membayangkan Lavi dewasa yang mukanya mirip sama gue.

"Neng, Neng nggak berteduh? Bajunya basah, Neng."

Suara laki-laki itu membuat gue mendongak. Lalu, saat melihat raut khawatir darinya, gue tersenyum tipis. Gue kenal dengan baik siapa laki-laki itu. Mang Cipto, penjaga sekaligus petugas kebersihan di sini.

"Ini Neng, payungnya," ucap Mang Cipto seraya menyodorkan payung buat gue.

Langsung aja gue menggeleng. "Nggak usah, Mang. Udah telanjur basah juga baju sama badan Sera. Payungnya buat Mang Cipto aja."

Mang Cipto terdiam. Kayaknya dia bingung lihat keadaan gue sekarang. Beda dari gimana biasanya gue saat berkunjung ke sini. Gue yang sekarang ... pasti kelihatan sangat kacau sampai Mang Cipto nggak bisa berkata-kata.

"Neng Sera ... nggak diantar sopir? Sendirian aja ke sini?"

Gue mengangguk. "Iya, Mang."

"Bapak sama Ibu nggak khawatir, Neng? Jakarta sini jauh atuh, Neng."

Gue cuma bisa tersenyum menanggapi ucapannya. Dan ... Mang Cipto juga nggak tanya lagi. Kayaknya tahu kalau gue lagi ada masalah. Gimana nggak? Biasanya gue ajak Mang Cipto ngobrol kalau pas ketemu. Sekarang gue cuma bisa mengangguk sama senyum.

"Saya lanjut keliling dulu ya, Neng? Udah mau tutup lho, Neng. Neng Sera nanti hati-hati pulangnya ke Jakarta."

Gue baru sadar, ternyata udah salama itu gue di sini. Sampai-sampai nggak sadar kalau San Diego Hills udah mau tutup. Karena jam buka hanya sampai pukul lima sore.

"Sebentar, Mang!" kata gue seraya berdiri.

"Ya, Neng?"

Gue cari tas gue, tapi nggak ada. Ponsel juga nggak ada di kantong. Gue menghela napas. Tadi gue turun dari mobil cuma bawa badan aja. Tas dan seisinya gue tinggal di mobil.

"Sebentar, Mang. Mang Cipto tunggu sini sebentar ya?" pinta gue, lalu berlari menuju mobil. Secepat kilat gue ambil dompet dan kembali menghampiri Mang Cipto.

"Buat beli nasi bungkus, Mang," kata gue sambil menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Terima kasih banyak ya Mang, udah bersihin dan jaga makam mami dan Lavi."

Mang Cipto langsung mengucapkan terima kasih dan doain hal-hal yang baik ke gue. Tentu aja doa-doa itu gue aminkan. Setelah Mang Cipto melanjutkan pekerjaannya, gue kembali bersimpuh.

Tangan gue terulur, kembali mengusap pusara dua orang tersayang. Rasanya belum rela kembali ke Jakarta sekarang. Namun, gue harus menguatkan hati. Keluarga lebih penting buat gue. Mereka pasti lagi bingung cari gue yang nggak ada kabar hingga petang dan nunggu gue pulang.

"Mi, Sera harus pulang sekarang. Nanti Sera datang ke sini lagi ya. Sera janji, besok kalau datang lagi, Sera bawain white roses buat mami," kata gue dengan suara bergetar. "I love you, Mi. Endlessly."

"My twin, gue pulang dulu ya? Nanti gue ke sini lagi. Kita ngobrol-ngobrol lagi ya?"

Gue sempatkan buat cium batu nisan itu dengan penuh rasa sayang sebelum berdiri dan berjalan menuju mobil.

Saat duduk di belakang kemudi, badan gue kerasa lemas bukan main. Badan gue menggigil. Jemari gue udah keriput. Bahkan, air mata gue kembali meleleh.

Apa gue bisa balik ke Jakarta saat ini juga? Nyetir dalam kondisi begini?

Di saat pikiran gue buyar, ponsel gue berdering menandakan ada panggilan masuk. Nama Hazel muncul di sana. Sempat ragu, tapi pada akhirnya gue menerima telepon itu.

"Astaga, Ra! Lo ke mana aja, sih?!" seru Hazel begitu gue mengangkat telepon. "Om, Tante, sama Sea bingung cari lo! Hape lo susah dihubungi!"

Seruan Hazel bukannya membuat gue tenang, malah membuat dada gue makin sesak. Air mata yang sudah berhenti, kembali menggenang. Bahkan, gue terisak sekarang.

"Ra?" Panggil Hazel saat mendengar gue terisak. "Lo kenapa? Are you okay?"

Gue menggeleng tanpa sadar. "Zel ... i need you," lirih gue kemudian dengan suara serak.

"Lo di mana?! Kasih tahu gue! Gue jemput lo sekarang!" teriak Hazel di seberang telepon.

"Bisa janji satu hal sama gue?" tanya gue.

"Apa?"

"Jangan kasih tahu ke papi sama mom," lirih gue.

"Oke. Gue diem. Gue nggak akan bilang ke Om dan Tante."

"Dan ... bisa nggak lo ajak sopir pas jemput gue?" pinta gue.

Hazel terdiam sejenak. "Why?" tanyanya kemudian.

"Bisa nggak?" tanya gue sekali lagi.

"Oke. Oke. Gue ajak sopir gue ke sana. Dan gue akan rahasiakan ini dari Om dan Tante," kata Hazel tanpa ragu. "Now, tell me. Where are you?"

*****
23 Februari 2024
With love, IU ❤️

REASON (TAMAT)Where stories live. Discover now