Chapter 18 - Suara Hati

11 1 0
                                    

"Belum 60 hari loh ini."

~ Tarunika Mega Tara ~

Usapan hangat membelai rambut panjangnya. Tarunika hingga terbuai dan memejamkan mata sedari tadi. Lama sekali ia tidak merasakan kehangatan itu. Semenjak ia kuliah, ketika lelah, yang menyapanya hanyalah lengang dan sunyi. Terkadang ia memeluk dirinya sendiri. Mengusap tangisnya sendiri. Ia tumbuh dengan situasi yang membuatnya harus menghadapi kepelikan dengan mengandalkan diri sendiri. Tidak terlalu buruk, meskipun pada awalnya benar-benar tidak nyaman. Namun, hari ini Tarunika masih bisa bernapas dan menikmati hidupnya dengan baik itu artinya ia bisa menaklukkan ketakutan yang mendekapnya.

"Ma, kalau Mama kangen Aru biasanya ngapain?" tanya Tarunika yang masih memjamkan matanya. Ia tidur di pangkuan Mama yang sedang duduk di sofa. 

Mama tersenyum memandangi wajah putrinya yang teduh. "Masuk kamar Aru, liatin foto-foto Aru yang cantik."

"Kalau Aru biasanya duduk di balkon sambil angin-anginan."

"Maksudnya apa itu?" Mama menautkan alisnya.

"Ya duduk aja, Ma. Sambil nikmatin angin. Angin yang Aru rasain itu membisikkan banyak hal tentang Mama. Misalnya, kalau Mama marah-marah," jawab Taru yang kini sudah membuka matanya memandang wajah Mama yang seperti tidak terima dengan jawaban itu.

"Mama marah-marah itu karena kamunya bandel. Begadang terus, suka makan pedes-pedes, telat makan. Gimana Mama nggak marah coba?" Wanita paruh baya itu menarik napasnya. "Aru itu jauh dari Mama. Mama nggak bisa ada di samping Mama terus, jadi harus pintar-pintar jaga diri. Mama cuma punya Aru."

Tarunika tersenyum. "Tuh, udah keluar bawelnya."

Mama meraup wajah Tarunika gemas hingga gadis itu berteriak. Mama tertawa sebelum mengatakan, "teriakan kamu yang bikin telinga sakit itu yang Mama kangenin. Dicolek dikit teriak-teriak."

"Namanya juga reflek, Ma." Tarunika tertawa.

"Rambut Aru udah panjang, ya? Besok mau dipijit, nggak sambil pake minyak kemiri?"

Tarunika membelalak. "Mau dong, Ma. Aru kangen banget dipijit kepalanya sama Mama. Besok, ya, Ma."

"Iya."

Mereka sama-sama diam. Tarunika kembali terpejam. Kedua tangannya memeluk perut mama. Lalu, mama kembali bersuara. "Aru, mama itu nggak ngerti."

"Soal apa, Ma?"

"Soal Aru."

Tarunika diam dan tidak mengubah posisinya. Ia memilih untuk mendengarkan kalimat selanjutnya, jadi mama kembali bersuara, "Aru itu Mama lihat terlihat bahagia, tapi Mama merasa kalau Aru itu menutup diri sama Mama."

Tarunika mendongak, menatap mama.

"Aru menutupi sesuatu?"

Tarunika mengubah posisinya menjadi duduk. Menghela napasnya. "Sebenarnya ... Aru lagi dekat sama seseorang, Ma."

"Apa?"

Tarunika mengangguk.

"Lalu yang membuat Aru gelisah?"

Tarunika menunduk. Memainkan jemarinya. Jelas ia tidak akan menceritakan apa yang menjadi kegelisahannya pada Mama. Mama tidak boleh tahu. Mama hanya boleh tahu Tarunika sedang bahagia. "Aru ... takut kalau nggak setara."

"Dalam hal apa?"

"Dia ganteng, Ma. Banget, Tarunika nggak kuat liatnya. Mama tahu, kan, gimana rasanya?" Tarunika melebih-lebihkan reakasinya sampai-sampai Mama keheranan.

Mari Saling BerterimaWhere stories live. Discover now