BAB 35

44 10 0
                                    

Serra menatap suaminya dari balik cermin— pria itu terlihat menyedihkan.

Surti mengerti, ia meletakkan pelembab itu di atas meja dan segera mendorong temannya untuk ikut keluar. 

Pria itu tampak berantakan dengan tiga kancing kemeja teratas yang terlepas secara paksa, lengan kemeja hitamnya dilipat sampai siku. Rambutnya berantakan dengan mata yang sembab. "Ada apa?" tanya Serra sedikit khawatir dengan nada sinis.

Archie menggeleng, dan air matanya mengalir. Oh Archie cengengnya. Pria itu tidak berbicara dan menatap istrinya dalam diam. Tatapan Serra penuh tanda tanya. Ia memutar kedua bola matanya malas. "Jika kamu hanya diam saja—tidak ada yang ingin kamu katakan. Lebih baik kamu bantu aku mengoleskan pelembab ini. Badanku merah-merah karena gesekan perhiasannya."

Serra membalikkan badannya dan berusaha mengoleskan pelembab itu sambil berkaca di cermin.

Archie mendekat, perlahan ia mengambil botol pelembab itu dan mulai mengolesi kemerahan di kulit istrinya. Archie sesekali menarik hidungnya, sementara Serra mendesah berat dan menatap pria itu dari cermin.

"Apa yang terjadi? Siapa yang membuatmu menangis?" tanya Serra pelan.

Archie menarik senyum tipisnya. Jangan tersenyum, bodoh. Hati Serra bergejolak. Dia kemudian menahan tangan Archie yang sedang mengoleskan pelembab itu disekitar area sensitifnya. Archie yang terkejut menatap istrinya dari cermin. Mata mereka bertemu. Serra menarik napas dalam. "Siapa yang membuatmu menangis, dan menjadi cengeng seperti ini, Archie?"

Archie mendekatkan tubuhnya, sampai ia merasa kulit itu di kulitnya. Wajahnya ia tumpu di atas pundak istrinya, dan ia mencium aroma istrinya dengan lembut. "Kamu, Serra.  Kamu."

Serra merasa napas panas Archie yang berada di lehernya.

"Kehadiranmu di dalam hidupku, membuat aku menjadi pria yang sangat sensitif. Aku takut kamu malu denganku, aku takut kamu meninggalkan aku—dengan segala yang terjadi di hidupku."

"Jangan bertele-tele. Aku tahu kamu mencintaiku, kata-kata romantisasimu itu membuatku kesal."

Tawa Archie tak dapat ditahan. "Siapa yang menyakiti hati kecilmu kali ini? Perkataan siapa lagi yang membuat kamu, memikirkan nasibku bersamamu?" Serra dengan tegas bertanya dan jemarinya dengan hangat menyentuh jari suaminya yang masih setia di dekat payudaranya—membawa jemari itu untuk menggenggamnya, meremasnya dengan kasih sayang.

"Aku mendapatkan amanat." Serra menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Gusti Tedjo ingin aku memegang Taj Rukmasana. Sebagaimana tahta itu jatuh seharusnya—kepadaku, Cherry," lirih Archie dan menenggelamkan wajahnya di pundak istrinya.

"Bagaimana bisa?" Serra tidak percaya dan bertanya-tanya.

"Wasiat kakekku. Aku tidak tahu secara pasti kenapa dia memberikan tahta itu kepadaku. Dihari kematiannya, Papa dan aku—kami menemani Eyang Kakung menyesap teh pagi terakhirnya. Aku tidak tahu, itu menjadi hari dimana aku terakhir melihatnya. Aku saat itu berusia lima belas tahun—usia dimana kita berpisah. Eyang memberikan sebuah surat yang berisi kesepakatannya dengan Papa. Disana tertulis namaku, dan surat itu sudah ditanda tangan dengan lambang kerajaan Akkadiamadjantara. Papa sangat senang dan memeluk Eyang dengan erat. Setiba kami kembali ke istana, Eyang meminta untuk istirahat di kamarnya. Papa mengikutinya dan beberapa saat kemudian, Papa berlari keluar dengan teriakannya. Eyang Kakung meninggal dunia karena serangan jantung —itu hasil pemeriksaan dokter."

"Tapi aku tahu, ada sesuatu yang Papa lakukan disana. Entah, apa, aku tidak tahu."

"Tadi ... Gusti Tedjo, berkata kepadaku. Bahwa surat itu masih ada, dan masih berlaku. Ia menjadi Raja karena Eyang Putri menyuruhnya. Seharusnya tahta itu jatuh kepada Papa, tetapi karena gejolak di kerajaan akibat kematian Eyang Kakung yang tiba-tiba. Tahta itu terombang ambing selama sebulan. Tak ada yang menerima ketika Papa naik tahta, bahkan ... Dia, tidak sanggup menerimanya dan pergi bersama lelaki lain."

"Namun, akhirnya, mau bagaimanapun tahta itu, jatuh ke tangan Papa. Ia memerintah selama setahun, dan akupun menjadi tumbalnya. Aku dipenjara dirumahku sendiri. Aku dilarang berkomunikasi dengan dunia luar, karena aku adalah pewaris selanjutnya. Surat itu sudah di tetapkan. Takdirku, sudah dituliskan dan hanya Papa yang tahu saat itu. Jadi, jika terjadi suatu pergejolakan lagi, surat itulah yang berbicara. Itu yang Papa katakan kepadaku."

Archie mencium setiap jengkal leher jenjang milik istrinya. "Tetapi aku tidak mau, Serra. Aku tidak menginginkan Taj Rukmasana."

"Lantas kenapa sekarang Gusti Tedjo mengembalikan tahta itu, Archie?"

"Karena memang seharusnya aku, Cherry."

"Setahun kepemimpinan Papa, tidak ada yang menyukainya. Ia dibenci oleh semua anggota keluarganya karena pandangannya yang berbeda. Aku bahkan menerima akibatnya. Semua sepupuku membenciku. Aku dianggap anak sial, karena membawa petaka bagi kerajaan. Semenjak aku dan keluargaku tiba di Akkadiamadjantara, ada saja kejadian menyedihkan yang terjadi. Akulah pembawa sial bagi kerajaan ini, Serra. Aku malapetaka bagi tempat kelahiranku."

Serra menggeleng dan menyentuh rahang yang ditumbuhi rambut rambut kasar itu. "Jangan bicara seperti itu."

"Andai saja, aku tidak ceroboh dalam berkuda dan menyebabkan Armaya terluka mungkin Gusti Ruumini tidak akan terlalu membenciku. Andai saja, aku tidak terkena cacar dan menularkannya kepada Ariya, mungkin aku tidak dipandang jijik olehnya. Andai saja, aku tidak pandai dalam matematika mungkin Djati akan menyukaiku dan kedua orang tuanya tidak mendorongnya dengan keras untuk melakukan sesuatu yang tidak disenanginya. Andai saja Serra .. andak saja ... "

"Archie itu bukan salahmu," ucap Serra pelan. Ia menangkup wajah suaminya dengan sayang. "Semuanya terjadi karena sebab. Jangan menyalahi dirimu seperti ini. Kamu bukan Archie yang aku kenal."

"Aku salah, Serra. Aku sial. Aku membunuh Papaku sendiri," ucap Archie bergetar.

Kening Serra berkerut. "Aku, aku ... "

"Archie?"

"Aku membunuhnya, aku membunuhnya Serra? Ada apa dengan diriku ? Apa yang salah denganku? Apa Serra? Apa?"

"Sssttt .. Archie, itu bukan salahmu. Kamu tidak membunuhnya."

"Bagaimana aku tidak membunuhnya?! Dia sekarat karena alergi susu sapi, aku memberikannya susu sapi, Serra. Aku menuangkan susu itu untuknya, aku membunuhnya!" seru Archie seperti orang gila. Serra baru melihat sisi buruk suaminya.

"Kamu bisa pergi jika kamu mau, kamu mempunyai kesempatan malam ini. Ini kesempatanmu, Serra. Bukankah kamu menginginkannya. Your surely this relationship won't last for a year, right? This is your chance ..." Archie mengucapkan kalimat terakhirnya dengan berat hati. Rasanya begitu sulit, tapi sangat sulit jika terus memendamnya.

Bukannya takut, wanita itu segera memeluk suaminya dengan erat. Serra sangat terkejut dan terpukul disaat yang bersamaan. Wanita itu dengan kesabarannya memberikan isyarat kepada Surti yang masuk— memberitahu bahwa acara puncak makan malam akan segera dimulai untuk menunggunya sebentar lagi.

TBC

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang