Part 12

24.6K 1.4K 83
                                    

Terjadilah sudah.

Allegro perlahan melangkah mundur dengan tubuh gemetar. Napasnya terasa sesak. Pandangannya tak lepas dari Akasia yang terbaring diatas bebatuan dalam kondisi setengah telanjang.

Gadis itu menangis tersedu-sedu sambil menutupi wajahnya.

Sebulir air mata perlahan turun dari pelupuk mata sang pembunuh bayaran, untuk pertama kalinya. Tindakannya kali ini, bahkan jauh lebih hina dibanding yang pernah dilakukannya di masa lalu.

Ini adalah pertama kalinya ia merenggut paksa kehormatan seorang gadis. Allegro menyesal. Kenapa ia bisa sampai bertindak sejauh ini. Kenapa ia bisa berbuat hal sekeji ini pada Akasia, gadis yang ia cintai.

Allegro melangkah masuk ke dalam air sungai yang tampak dangkal. Tidak ia pedulikan dinginnya air yang terasa amat menusuk kakinya.

Ia mereguk air sungai dengan kedua tanganya. Menampar wajahnya sekeras mungkin dengan air itu sambil terus berharap kalau semuanya hanyalah mimpi belaka.

Meski sangat disayangkan. Karena semuanya nyata. Dan bukanlah mimpi. Termasuk kehadiran Adrian yang secara tiba-tiba didepan matanya.

Yang terbelalak menyaksikan tubuh wanita yang dicintainya tergolek tak berdaya diatas bebatuan.

"AKASIA?!!" Teriak Adrian. Ia melompat menaiki batu yang tidak cukup besar itu dan meraih tubuh gadis yang dicintainya.

"Ad-drian..." Akasia menurunkan kedua tangannya untuk menatap Adrian sejenak namun segera mendorong pria itu sambil berusaha menutupi tubuhnya.

Gadis itu kembali menangis.

Tangan Adrian terkepal. Ia bangkit dan berbalik untuk menatap sang ayah yang sedang tertunduk di tepi sungai.

"KAU?!" Teriak Adrian lagi, melompat dan berlari secepat kilat menghampiri sang ayah. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya ia meraih baju sang ayah dan memukul wajahnya kuat-kuat.

Darah mengalir turun dari sudut bibir sang ayah.

"KAU MEMANG PRIA BRENGSEK! AYAH MACAM APA YANG TEGA MERENGGUT KESUCIAN GADIS YANG DICINTAI ANAKNYA!!" Maki Adrian.

Allegro masih tertunduk. Dadanya bergerak naik turun karena berusaha mengatur napas.

"LIHAT AKU PAPA!" Bentak Adrian. "LIHAT AKU"

"Bunuh saja aku nak." Gumam Allegro tiba-tiba.

Adrian mengernyit. "Apa?!"

Kali ini Allegro menengadahkan kepalanya. Menatap langsung ke dalam mata Adrian yang nanar.

"BU*UH AKU NAK"

Terhenyak. Adrian spontan memundurkan langkahnya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat sang ayah mengeluarkan air mata.

Allegro mengambil pistol miliknya dan memberikannya langsung ke dalam genggaman sang anak.

Adrian menatap pistol itu. Perasaannya begitu kalut. Haruskah ia membunuh ayahnya sendiri. Jantungnya berdebar hebat. Napasnya memburu.

Sementara Allegro secara perlahan berlutut dihadapan sang anak. Tertunduk menyesali kesalahan fatal yang telah dibuatnya.

"Jika dengan kematianku bisa menebus segalanya maka lakukanlah nak" ujar Allegro lirih.

Pikirannya kembali berputar saat pertama kali ia melihat anak itu. Melihat Adrian yang masih bayi, terbaring di atas ranjang mungil yang tampak begitu indah.

"Lakukan Allegro!"

Allegro bergeming. Masih terpaku menatap anak itu.

"Jika kau tak berani melakukannya maka aku yang akan membunuhnya"

Sang rekan meringsek maju dan menodongkan pistolnya tepat ke arah sang anak.

"HENTIKAN LEA!!" Teriak Allegro.

Wanita bernama Lea terhenyak. "Kenapa? Kita sudah lama menantikan ini bukan?"

Allegro hanya diam.

"Allegro?!"

"Kita sudah membunuh August bukan" jawab Allegro. Menatap sang rekan dengan pandangan nanar. "Anak ini tidak bersalah Lea"

Lea terdiam. Ia menatap lagi bayi yang berada didalam ranjang mungil itu.

"Aku tidak perduli, mereka semua harus mati!!" Lea kembali mengacungkan pistolnya. Berusaha menembak kepala anak itu namun dengan kecepatan tak terduga Allegro sudah lebih dulu menembaknya.

Wanita itu ambruk ke lantai. Dengan darah yang terus mengalir di dadanya.

"Kenapa... kau lakukan... ini... ugh"

Allegro mengangkat tubuh anak itu dengan sebelah tangan ke dalam gendongannya, sementara pistol masih mengarah ke tubuh Lea yang terkapar di lantai.

Tangan Allegro gemetar menyaksikan Lea yang menangis sambil terus menatapnya.

Hingga didengarnya bisikan terakhir dari sang rekan yang telah lama mengikutinya.

"Aku, mencintaimu... Allegro"

Hembusan angin menyadarkan Allegro. Ia menunggu. Menunggu sang anak menarik pelatuknya.

Sementara keheningan malam yang semakin larut terasa begitu mengerikan. Seolah sedang menantikan kematiannya.

Pistol yang digenggam Adrian kini menempel di kening sang ayah. Namun timah panas tak jua meluncur dari lubang pistol itu.

Allegro akhirnya mendongak menatap sang anak. Tersenyum kepadanya untuk yang terakhir kali.

Sementara Adrian balas menatap murka padanya.

Meski demikian, Allegro tahu. Adrian tidak akan tega untuk membunuhnya. Terlebih saat dirasakannya tangan sang anak gemetar hebat.

Allegro menggenggam ujung pistol itu dan menekan kuat-kuat agar mengarah tepat dikeningnya.

Mungkin inilah saatnya. Penebusan dosa atas kejahatan yang ia lakukan dahulu. Menghilangkan nyawa orang-orang tak berdosa.

Dan kini ia rela, untuk menjadikan nyawanya sendiri sebagai penebus atas dosa-dosanya.

Mati ditangan Adrian, sang anak yang selalu dicintainya.

***

Happy reading ^^

Mr. AllegroWhere stories live. Discover now