Part 15

11.9K 974 75
                                    

"Allegro?!"

Akasia mengerjap. Tersadar dari alam mimpi yang seakan tak kunjung berakhir.

Gadis itu menyibak rambut panjangnya yang tak terurus. Terlihat kusut dan dibiarkan tergerai hingga menutupi punggungnya.

Perlahan ia menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dan berjalan menuju cermin.

Ia berdiri mematung sambil memandang pantulan dirinya.

Tubuh itu tak lagi sama, pikirnya. Ada kehidupan lain di dalam sana.

Tersembunyi dibalik perut Akasia yang kini membuncit.

Allegro...

Ya. Hanya ini saja satu-satunya harta peninggalan pria itu.

Entahlah. Air mata Akasia seakan mengering. Lelah akan keadaan yang selalu tidak berpihak padanya.

"Kau sudah bangun, Akasia?"

Pandangan gadis itu teralih pada sosok yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Bukankah sudah kukatakan agar mengetuk pintu sebelum kau memasuki kamar orang lain, Adrian." Jawabnya ketus.

Adrian hanya tersenyum singkat. "Ckck, apa kau tidak lelah selalu bersikap seperti itu padaku?"

Akasia berbalik dan mengenakan kimononya. Menutupi perutnya yang mulai membesar.

"Bagaimana kabar anakku?" Adrian melipat kedua tangannya di dada seraya bersandar.

"Anakmu." Akasia mengulangi.

Adrian mengangguk mantap.

"Kau pasti sudah gila, Adrian!" Tegasnya. "Anak ini baru akan jadi milikmu hanya jika aku mati."

Kening Adrian mengerut. Dengan langkah cepat ia bergegas meraih lengan Akasia. "Dia sudah mati dan anak ini termasuk kau adalah milikku."

Akasia tersenyum miring. Geli akan apa yang baru saja didengarnya. "Kau benar-benar anak durhaka Adrian, setelah apa yang Allegro lakukan padamu-"

"DIA TELAH MEMBUNUH ORANG TUAKU!" Teriak Adrian. Napasnya terlihat memburu. "Dan kau tidak akan pernah tahu rasanya jika menjadi aku."

"Dan menurutmu apa yang Allegro lakukan untuk menebus kesalahannya dengan mengorbankan sebagian hidupnya demi dirimu yang bukan siapa-siapa tidak berarti apa-apa?"

Adrian terdiam. Pandangannya terlihat nanar. Ia bungkam, tak kuasa untuk membalas Akasia.

Sampai perlahan pegangan tangannya terlepas. Adrian berbalik memunggungi Akasia.

"Bergegaslah, aku akan mengantarmu." Ucapnya getir.

Akasia menarik napas dalam-dalam. Ia sadar kalau apa yang baru ia ucapkan memang salah. Meski tidak sepenuhnya bisa dikatakan salah.

***

Entah berapa lama waktu berlalu. Akasia tidak pernah menghitungnya. Ia benar-benar putus asa. Bahkan nyaris beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya.

Sampai hari itu ketika ia mengetahui apa yang tengah tumbuh di dalam dirinya. Dan seakan menampar dirinya.

Benih yang ditinggalkan oleh pria itu.

"Apakah anda terlalu lelah belakangan ini Nona?"

Akasia tersenyum pada Dokter yang tengah menanganinya. "Hanya sedikit. Tidak ada yang membantuku di toko." Jawabnya.

Sang Dokter hanya bisa menggelengkan kepala. "Sebaiknya anda lebih menjaga kandungan anda Nona, anda pernah mengalami pendarahan, jangan sampai terulang lagi."

"Ya, maafkan aku. Aku harus membiayai hidupku sendiri dan... yeah, kurasa anda benar." Akasia mengedikan kepala. Dokter itu memang benar. Ia seharusnya lebih menjaga buah hatinya.

"Kalau begitu saya permisi dulu, terima kasih Dok." Akasia mengambil tas dan berbalik.

"Jaga diri anda Nona." Ucap Dokter itu lagi dan disambut dengan anggukan kepala oleh Akasia.

Gadis itu menutup pintu di belakangnya. Kemudian berjalan dengan amat perlahan menyusuri lorong rumah sakit.

Entah mengapa rasanya ia begitu iri. Teramat iri ketika melihat begitu banyak pasangan yang terlihat begitu bahagia menyambut sang buah hati.

"Ya Tuhan!" Akasia terhuyung ke belakang ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya.

"Anda tidak apa-apa? Maafkan aku."

Akasia memegangi lengan wanita yang nyaris membuatnya terjatuh. "Tidak, maaf. Salahku juga karena melamun."

Wanita itu menggeleng. "Syukurlah jika anda baik-baik saja. Aku akan merasa sangat bersalah jika terjadi apa-apa pada kandungan anda Nona."

Akasia tersenyum. "Tidak apa-apa. Bayiku sangat kuat seperti ayahnya."

"Oh ya?" Wanita itu tertawa. "Kau terlihat sangat muda tetapi di lain sisi juga terlihat dewasa. Tapi, dimana ayahnya, mengapa ia tidak mendampingimu?"

Pandangan Akasia terlihat sedih meski hanya sejenak. "Sayangnya ia sudah lebih dahulu ke sana," jawabnya seraya menunjuk ke arah langit.

Wanita itu menutup mulutnya. Merasa sangat bersalah. "Maafkan aku. Kurasa aku benar-benar lancang, terlebih juga-"

Akasia menggerakan telapak tangannya. "Tidak apa-apa, aku sudah bisa menerimanya, baiklah Nona kalau begitu saya permisi dulu." Ujarnya.

Wanita itu mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari Akasia yang berjalan menjauh. Sampai seseorang menyadarkannya.

"Lea"

Wanita itu berbalik. Tersenyum pada sosok yang memanggilnya. "Apa kita sudah bisa pulang sekarang?"

"Ya, kau sudah banyak kemajuan. Entah ini keajaiban yang Tuhan berikan atau bagaimana hingga kedua kakimu bisa berjalan kembali."

Lea memeluk erat orang itu. Menumpukan keningnya di dada bidang yang belakangan selalu menjadi tempatnya bersandar.

"Apa kau mencintaiku?" Tanyanya.

Pria itu mengangkat wajahnya. Menatap lurus ke sosok yang terlihat begitu mungil di kejauhan.

Entah mengapa, rasanya punggung itu begitu familiar baginya.

"Allegro! Jawab pertanyaanku..." rengek Lea.

Allegro tersenyum. Hanya sebuah anggukan singkat yang menjadi jawaban atas pertanyaan yang diajukan wanita itu.

Dan ketika Lea perlahan membimbing Allegro untuk ke arah sebaliknya, tak sedikitpun Allegro memalingkan pandangan dari sosok yang semakin tidak terjangkau oleh matanya.

Wanita itu...

***

Semoga masih ada yang menanti cerita ini ^

Mr. AllegroWhere stories live. Discover now