Part 18

9K 656 92
                                    

"Kita akan melangsungkan pernikahan." Adrian tersenyum penuh kebahagiaan.

Akhirnya, saat ini tiba. Moment yang sejak sangat lama begitu ia nantikan.

Ketika Akasia pada akhirnya bisa melihatnya sebagai seorang lelaki.

"Tidakkah terlalu cepat Adrian?" Akasia menunjuk perut buncitnya. "Bagaimana aku bisa mengenakan gaun pengantin dengan perut seperti ini."

Adrian mengusap lembut perut buncit gadis itu. Menatapnya dengan penuh kelembutan. "Mulai saat ini dan seterusnya, akulah Ayahmu." Gumamnya.

Akasia tersenyum. Mungkin... seharusnya memang seperti ini. Sejak awal, takdir memang selalu membawanya kepada Adrian.

Entahlah. Akasia masih sulit memaafkan Adrian atas kebohongannya selama ini. Tapi, mengingat semua yang Adrian lakukan demi dirinya-

Dering ponsel Adrian seolah memecah kebahagiaan yang baru saja mereka teguk.

"Siapa ini?" ujar Adrian.

"CEPAT BAWA AKASIA PERGI DARI SINI!"

Adrian seketika terbelalak. Ponsel yang ada digenggamannya jatuh begitu saja. Dia, sangat mengenal suara itu.

"Adrian, ada apa? Siapa yang menghubungimu." Tanya Akasia panik.

Adrian meraih tangan Akasia. "Cepat berkemas, kita pergi dari tempat ini sekarang juga." seolah, tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk mereka kini.

Akasia menahan Adrian. "Apa, tapi kena-?"

"AKU TIDAK BISA MENGATAKANNYA. kumohon, sekarang dengarkan aku, ambil semua barang-barang yang penting saja dan-"

Genggaman Adrian terlepas dan cairan merah itu dalam sekejap menciprati wajah Akasia.

"ADRIAN?!" lengkingan suara Akasia terdengar pilu.

"Aka...." Tubuh Adrian ambruk ke lantai. Dengan sebelah tangan masih memegangi dadanya yang baru saja tertembus timah panas, tatapan pria itu tak sedikitpun lepas dari gadisnya.

Tangis Akasia pecah. Kedua tangannya berusaha meraih tubuh Adrian. "Tidak, Adrian...."

Ketika sebuah letusan kembali terdengar, suara pecahan kaca setelahnya seakan menyambar Akasia.

Dan Allegro dalam sekejap sudah menjadi tameng bagi gadis itu.

Tanpa memperdulikan bahunya yang basah oleh darah. Allegro meraih wajah Akasia. "Dosa yang telah kusebabkan akan kutebus meski aku harus mengorbankan nyawaku." Ujarnya.

Ia menoleh ke sekitar. Valent belum menampakan wajahnya. Pria itu bergegas menarik Adrian ke dalam pelukannya dan membawanya menuju mobil yang terparkir tepat di depan rumah.

Ia tahu benar, Valent ada di sekitarnya, dengan sengaja diam sambil tertawa melihat segala situasi yang ia timbulkan.

Valent adalah pembunuh berdarah dingin yang sesungguhnya.

Bahkan seseorang yang sekaliber Allegro, harus bergidik jika berhadapan dengan mantan sahabatnya itu.

Tatapan Allegro sesekali teralih pada Adrian dan Akasia yang berada di kursi belakang.

Oh Tuhan, seharusnya sejak awal ia tidak hadir di kehidupan mereka.... Andai waktu bisa diputar kembali.

Adrian berusaha keras bertahan. Menahan sakitnya robekan timah panas yang menembus dadanya. Tapi-

Semuanya kini seakan berputar, dalam fase yang tidak ia mengerti. Tepat dan jelas di depan kedua matanya.

Ketika ia, Adrian kecil yang masih berusia tujuh tahun.

Flashback

Adrian melipat kedua tangannya di atas meja. Dengan kepala tertunduk dan postur yang kaku. Sementara anak-anak disekitarnya dengan asik bermain, hanya dirinyalah yang berdiam diri.

Ia bukanlah seorang anak yang mudah bergaul. Situasi lah yang membuatnya seperti ini.

Adrian tidak pernah menetap di satu tempat yang sama lebih dari enam bulan. Entah mengapa, ia sendiri tidak tahu.

Ayahnya tidak pernah mengatakan apapun padanya. Meski, ia dengan sangat menyadari, betapa sang Ayah sangat menyayanginya.

Apapun yang semua orang katakan tentang sang Ayah. Ia tidak peduli. Sang Ayah telah berkorban banyak untuknya. Menjadi seorang Ayah sekaligus ibu baginya.

Seperti saat ini.

Pandangan Adrian kecil mengarah pada jendela besar yang mengarah pada taman di samping kelasnya.

Dia selalu ada.

Senyum Adrian merekah.

Sang Ayah, selalu ada untuknya. Dengan coat serta syal abu yang membuat sang ayah terlihat begitu tampan, serta sebuah kotak bekal yang digenggam begitu erat di sebelah tangannya.

Flashback End

"Ayah."

Allegro menginjak rem kuat-kuat. Jantungnya berpacu ketika mendengar sebutan itu.

Sebutan yang sudah sangat lama tidak ia dengar. "Sebutan itu tidak pantas untukku." ujarnya lirih. Seraya melihat sekilas pada kaca spion mobil, Allegro kembali melajukan mobilnya.

"Aku akan mati." Ucap Adrian lagi. Tangis Akasia semakin pecah. Semuanya berjalan begitu cepat, begitu membingungkan sekaligus menyakitkan.

"Ooh Adrian, kumohon bertahanlah... Aku sudah memilihmu. Apakah kau mau mengingkari janjimu padaku hah?" Tenggorokan Akasia semakin tercekat.

Oh Tuhan. Allegro begitu menyesal dengan semua keadaan ini. Seandainya saja dulu ia membunuh anak ini, segalanya tidak akan menjadi begitu rumit.

Sekarang, semuanya menjadi percuma. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Semuanya sudah hancur. Semuanya! dan inilah karma untuknya atas dosa telah merenggut nyawa, tanpa memikirkan perasaan dari orang-orang terdekat dari setiap orang yang telah disingkirkannya.

"Tidak!" Akasia menjerit. "ADRIAN! BUKA MATAMU... ADRIAN?!"

Allegro menghentikan mobilnya lagi. Ia menoleh, menyaksikan kedua mata sang anak terpejam. "Tidak..." bisiknya lirih. Ia membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke kursi belakang untuk melihat kondisi Adrian.

"Dia tidak mati kan?" Akasia menatap tajam pria itu.

Tapi Allegro tidak sanggup bahkan hanya untuk membuka mulutnya. Air matanya mengalir jatuh begitu saja.

"Tuan..." Akasia berusaha memastikan lagi. Ia menggenggam erat lengan Allegro, berusaha untuk menepis segala pikiran buruk yang terlintas dibenaknya.

Percuma.

Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut pria itu. Dan Akasia terpaksa memastikannya sendiri. Dengan jemari yang bergetar, mendekatkan jari telunjuknya ke hidung Adrian. "Tidak... Adrian.... ADRIAN?!!!" Akasia meraung pedih. Tangisnya berubah menjadi jeritan-jeritan yang demikian memilukan.

Tidak ada lagi hembusan hangat yang keluar dari hidung lancip milik Adrian.

Tidak lagi.

***

Tbc.



Mr. AllegroWhere stories live. Discover now