Part 13

23.8K 1.3K 144
                                    

Allegro terus berlari menembus dinginnya malam. Pikirannya kacau, ia bahkan nyaris lupa kalau saat ini ada seorang bayi mungil yang berada didalam dekapannya.

Dengan napas terengah-engah ia akhirnya berhasil mencapai mobilnya.

"Shit!" Allegro terus mengumpat sambil memukul stir kemudi.

Tidak dipedulikannya jerit tangis bayi yang ia geletakkan begitu saja dikursi sebelahnya.

Kedua tangannya gemetar. Bayangan Lea yang bersimbah darah akibat terkena tembakannya terus berputar didalam kepalanya.

Ia mencengkeram kuat-kuat stir mobilnya. "Aku pasti sudah gila!" Ditatapnya bayi mungil itu. "Ini semua karena kau bayi sialan! Jika saja kau tidak ada disana... jika saja kau tidak terus menangis... aku..."

"Damn!!" Lagi-lagi Allegro memukul stirnya. Wajahnya menyiratkan keputusasaan.

Pikiran Allegro kembali pada sosok wanita yang seharusnya dalam waktu dekat ini akan dinikahinya. Valeria Maxwell.

Allegro menyalakan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi.

----

"LILY"

BUK BUK BUK

"LILY!!"

Seorang gadis muda keluar dari sebuah pondok yang tidak terlalu besar.

"Sialan kau Allegro! Kau nyaris merobohkan rumahku" omel Lily sambil mengikat kimononya. Pandangannya menurun pada bayi mungil yang terus menangis didalam pelukan Allegro. "Anak siapa ini?" Tanya gadis itu heran.

"Aku titip anak ini sebentar" ujar Allegro terburu-buru. Ia bahkan menaruh bayi itu begitu saja ke dalam gendongan Lily.

"Hei! Kau belum menjawab pertanyaan... HEI ALLEGRO?!!"

Tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Lily, Allegro kembali masuk ke dalam mobilnya dan kembali melajukan kendaraannya.

"Tunggu aku, Lea"

---

Allegro memarkirkan mobilnya tepat dibelakang sebuah mobil box yang cukup besar. Ia membersihkan darah yang ada di tangannya dan meraih sebuah mantel berwarna cokelat yang berada di kursi belakang.

Mantel yang beberapa saat lalu dikenakan oleh sahabatnya tepat sebelum mereka bertiga melaksanakan aksinya.

Dan kini Allegro dengan sangat terpaksa harus meminjamnya tanpa seizin pemilik aslinya.

Tergesa-gesa ia kembali ke rumah keluarga Bennet, seorang pejabat korup yang telah membunuh orang tua Lea hanya untuk mengambil alih sepenuhnya atas perusahaan yang mereka jalani bersama.

Langkah Allegro terhenti saat ia melihat kerumunan warga serta beberapa orang polisi yang berusaha mengamankan lokasi kejadian.

Ia menaikkan kerah mantelnya hingga menutupi sebagian wajah dan berusaha tetap terlihat tenang sambil membaur dengan warga setempat.

Jantungnya berdebar hebat saat tanpa sengaja dilihatnya sesosok mayat yang baru saja melintas didepannya.

Sesosok mayat yang ditutupi sebuah kain putih. Dengan sebelah tangan yang terjuntai keluar dari tandu yang membawanya.

Tubuh Allegro membeku. Napasnya seolah tercekat. Ia sangat mengenali mayat itu. Mayat yang mengenakan cincin perak bermata satu dijari manisnya.

Cincin yang baru saja ia sematkan dimalam sebelumnya. Tepat disaat ia melamar gadis itu, dengan disaksikan oleh sahabat sekaligus kakak dari gadis itu, Valent Maxwell.

Ia menyesal. Seharusnya ia tidak mengikuti keinginan sahabatnya untuk membalas dendam, terlebih lagi mengikut sertakan Lea. Dan kini, setelah ia berhasil menghabisi Bennet, ia juga berhasil menghabisi nyawa gadisnya. Valeria, atau yang biasa dipanggilnya, Lea.

***

"Tembak aku nak"

Tangan Adrian gemetar hebat. Rasanya seluruh jemarinya mendadak kaku dan ia nyaris tidak bisa menggerakan jarinya sendiri.

Sementara Akasia yang melihat hal itu berusaha menahan Adrian.

"TIDAK, ADRIAN JANGAN LAKUKAN ITU..."

Teriakan Akasia bahkan tidak digubris sedikitpun oleh Adrian. Bagaimana mungkin setelah apa yang telah menimpanya, Akasia masih tetap membela ayahnya. Adrian tidak habis pikir.

Disisi lain Allegro terus menekankan kukunya dalam-dalam ke telapak tangannya. Bahkan setelah apa yang telah ia lakukan, menghancurkan masa depan gadis itu. Akasia masih tetap berusaha membelanya.

"Kau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah kau perbuat Ayah" gumam Adrian.

Allegro tersenyum. Sebelah tangannya masih mengarahkan ujung pistol sang anak tepat dikeningnya sendiri.

"Adrian, setelah ini... aku bukan lagi ayahmu. Karena aku, hanyalah seorang pendosa yang tidak akan pantas mendapatkan kata maaf..." Allegro mendongak untuk menatap Adrian dalam-dalam. "Satu saja pintaku, jaga Akasia."

"ADRIAN! JANGAN... KUMOHON"

Adrian menoleh ke arah Akasia yang terus berteriak sambil menghiba. "Maafkan aku, Akasia"

DORR

Hujan deras yang turun disertai petir menyamarkan suara tembakan. Menggelegar dengan nyaringnya hingga memekakan telinga. Membuat tiga sosok yang saling berkaitan mematung dibawah derasnya air hujan.

Dan seolah membeku, Akasia terbelalak dengan apa yang baru saja dilihatnya. Sosok gagah yang ia cintai ambruk begitu saja ke tanah.

Sementara percikan darah yang cukup banyak terlihat menciprati wajah Adrian. Darah sang ayah yang selalu melindunginya dan mencintainya sepenuh hati.

***

Selamat membaca :)


Mr. AllegroWhere stories live. Discover now