Part 14

14K 1K 46
                                    

Akasia membuka matanya. Memutari pandangan diruangan segi empat bercat putih itu.

"Kau sudah sadar Akasia?"

Gadis itu menoleh ke asal suara yang bertanya padanya.

Adrian.

"Dimana... Alleg.... ro?" Tanya Akasia lemah.

Jantung Adrian bagai ditikam sembilu. Akasia bahkan tidak menyadari apa penyebabnya hingga ia terbaring seperti ini dirumah sakit.

"Kau mengalami pendarahan Akasia," ujar Adrian lagi sambil berusaha meraih jemari gadis itu.

Akasia menepis tangan Adrian. "Katakan padaku dimana Allegro?!" Suara gadis itu mulai meninggi.

Adrian memalingkan wajahnya. Merasa berat untuk menjawab. Tapi ia harus.

"Ia sudah mati Akasia."

Akasia terhenyak. Spontan bangkit dari tidurnya. Di lepaskannya jarum infus yang menembus kulitnya.

"AKASIA!" Teriak Adrian.

"Jangan sentuh aku!" Akasia menghindari tangan Adrian yang berusaha meraihnya. "Kau tahu, aku sangat membencimu. Sekarang dan SELAMANYA ADRIAN!" Teriaknya. Terseok-seok meraih apapun yang bisa ia jadikan sebagai pegangan.

Akasia masih terlalu lemah. Sangat terguncang dan tidak berdaya.

Ia sangat kecewa atas apa yang telah Allegro lakukan padanya. Tapi- setelah apa yang terjadi... Oh Tuhan, Akasia tidak akan pernah bisa menerima kenyataan ini.

Akasia mungkin sudah kehilangan akal sehat karena hanya dalam waktu sekejap sudah memaafkan Allegro.

Tetapi... apapun itu. Hanya untuk pria itu, Akasia bahkan rela menyerahkan hidupnya sendiri. Seperti saat ini. Ketika sebuah vas bunga yang terletak di atas meja ia pecahkan tanpa ragu.

Dan menggoreskan pecahannya tepat di atas nadi pergelangan tangannya.

Hingga darah mengalir begitu saja. Menetes tanpa henti.

Telinga Akasia seakan berdengung. Segalanya perlahan gelap. Meski di sisa kesadarannya, ia bisa melihat Adrian yang menjeritkan namanya.

Apapun itu, ia sudah tidak perduli lagi.

Karena dunia tanpa Allegro... adalah kematian bagi Akasia.

***

"Kau sudah sadar Allegro?"

Allegro mengerjap. Berusaha bangkit tapi sesuatu menahannya.

Tubuhnya terbalut perban yang cukup membuatnya kesulitan bergerak. Tidak, bukan hanya itu.

Kedua tangan serta kakinya yang terikat di tepi ranjang dan....

"LEA?!" Bola mata Allegro nyaris melompat keluar saat melihat sosok yang ada di sisinya.

Seorang gadis cantik. Dengan wajah tirus dan kulit yang pucat.

"Halo tunanganku."

Allegro meronta. Otot-ototnya tampak menegang. "Kau?! Bagaimana mungkin.... saat itu aku dengan jelas telah-"

"Membunuhku?" Gadis itu terkekeh. "Tidak Allegro, sayangnya aku tidak mati."

Napas Allegro terasa sesak. Bagaimana mungkin gadis yang selama ini ia cintai ternyata tidak mati. Terlebih- pandangan Allegro bergerak ke arah kursi yang diduduki oleh Lea.

"Aah, jangan tanya Allegro." Seulas senyum terukir di wajah Lea. "Karena koma dalam waktu yang cukup lama, seperti inilah akibatnya." Ujar gadis itu seraya menyingkap selimut yang menutupi kedua kakinya.

Allegro mengangkat kepalanya. Melihat dengan lebih jelas apa yang terjadi pada gadis itu.

"KAU TELAH MEMBUATKU MENJADI SEPERTI INI ALLEGRO!" Teriak Lea histeris. "SEHARUSNYA KAU TIDAK MENCEGAHKU UNTUK MEMBUNUH ANAK ITU!!"

"Lea..." Allegro terus berusaha melepaskan diri. Mengabaikan rasa sakit akibat timah panas yang menembus bahunya.

Lea menangis tersedu. "Bertahun-tahun aku terjebak di atas kursi roda keparat ini dan semua karena kau Allegro! Kau mengkhianatiku! Kau tahu apa yang telah August perbuat pada kami. Tapi kau tetap membelanya!!"

"Lea, kumohon lepaskan ikatanku. Biar kujelaskan segalanya padamu..." ujar Allegro lirih. Andai ia bisa meraih gadis itu.

"Aku membencimu Allegro. Aku tidak akan pernah memaafkanmu!!" Lea menatap jijik pada Allegro dan mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan itu.

Oh Tuhan.

Allegro memejamkan kedua matanya begitu erat. Apa ini, apa yang sebenarnya terjadi.

Jika Lea masih hidup. Lantas mayat siapa yang saat itu dilihatnya.

"Bagaimana Allegro?"

Suara lain yang datang membuat kemarahan Allegro tersulut seketika.

Ia mengangkat wajahnya dan menatap bengis sosok yang tengah berdiri di ambang pintu. "Valent, kau keparat-"

Tawa Valent terdengar membahana. "Apa kini kau mengerti alurnya Allegro?" Tanya pria itu seraya berjalan masuk.

Allegro kembali memberontak. "Kau... jadi kau yang merencanakan semua ini!!"

Valent mengangkat dagunya. "Tentu saja." Jawabnya mantap.

"Kenapa Valent! Kenapa kau melakukan ini??" Tanya Allegro.

Valent menginjak luka di bahu Allegro kuat-kuat hingga darah kembali mengalir.

"Mengapa?" Geramnya. "Tentu saja, karena pengkhianatanmu pada kami. Aku merelakan Lea untukmu. Tapi apa yang kau lakukan, kau menyia-nyiakannya!"

"AKU TIDAK PERNAH MENYIA-NYIAKANNYA!" Teriak Allegro.

"TAPI KAU MENCOBA UNTUK MEMBUNUHNYA." Balas Valent. "Lihat apa yang telah kau perbuat padanya. Lea kini cacat Allegro!!"

Allegro membeku.

Ya, Valent memang benar. Semuanya karena perbuatannya. Lea kini cacat...

"Dan gadis itu."

Valent tersenyum miring. Menatap Allegro dengan penuh kemenangan. "Gadis muda yang telah kau hancurkan masa depannya Allegro."

Dada Allegro seakan ditikam ribuan belati.

"Jadi, yang mana yang kau pilih Allegro. Lea, ataukah... kekasih anakmu. Akasia?"

Allegro seketika terkulai lemas. Ya, gadis itu... kekasih anaknya sendiri.

Gadis yang perlahan masuk ke dalam kehidupannya. Gadis yang membuatnya kembali merasakan gairah akan kehidupan.

Akasia...

"Pilihlah Allegro, karena salah satu dari mereka akan mati di tanganku."

***

Tbc.

Mr. AllegroWhere stories live. Discover now