Chapter 19

22.2K 1.8K 44
                                    

Prilly POV

Dengan malas, aku melangkah ke arah cermin. Memandang bayangan diriku yang terpantul disana.

Tak ada senyum, tak ada binar di mata gadis yang kulihat. Tapi dress selutut berwarna peach yang ia kenakan dan make up natural yang memoles wajahnya benar-benar menyembunyikan kehancuran yang ada di hatinya.

Ya, berhari-hari aku mencoba untuk kembali menjadi Prilly yang dulu. Pribadi ku yang cuek, galak dan ketus sempat menghilang karena seseorang yang bahkan untuk menyebut namanya saja aku tak sanggup.

Aku melakukan ini semua karena aku tak mau dianggap lemah. Aku terlalu lelah untuk menangisinya tiap malam. Toh ia tak akan tahu. Mungkin kini dia sudah bahagia bersama dengan perempuan pilihan ayahnya. Ah aku tak peduli. Bukan, maksudku aku berusaha untuk tak peduli.

Mungkin rasaku yang terlalu besar untuknya justru membuatku mati rasa kini. Kata Davi, aku malah menjadi Prilly yang lebih dingin dari aku yang dulu. Apa benar?

Tapi aku memang merasa banyak hal dalam diriku yang berubah. Aku tak lagi hobi makan kue cupcake. Cupcake hanya akan membuatku menangis seperti pemain sinetron yang terlalu berlebihan memainkan perannya.

Hal itu yang membuatku enggan untuk datang ke Cafe. Terakhir kali aku ke sana sekitar dua bulan yang lalu mungkin. Entahlah.

Jika kalian bertanya, masihkah ada luka di hatiku, jawabannya adalah ya. Masih dan begitu dalam membekas. Tapi aku cukup menguburnya di dasar hatiku. Setidaknya luka itu selalu menjadi pengingatku. Pengingat bahwa aku pernah bersamanya. Pengingat bahwa rasa itu pernah ada.

"Prilly udah siap belum, sayang?" kudengar teriakan Papa dari luar kamarku. Aku menghela nafas panjang. Rasanya malas sekali untuk beranjak.

Hari ini Papa mengajak Mama dan aku untuk pergi ke Cafe kami. Katanya Papa akan menghadiri acara sahabatnya. Pertama kali mendengarnya, aku merasa senang karena sudah lama sekali aku, Papa dan Mama tidak pergi bersama. Tapi saat mengetahui bahwa tempatnya adalah di Cafe kami, Far's Cafe, mendadak moodku turun drastis bahkan menguap begitu saja.

Masih tak siap rasanya jika harus berkunjung ke sana. Tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur menyetujuinya. Bahkan kata Papa, sahabat Papa itu menyuruhku datang. Cih, memang siapa orang itu? Kenal kah dia padaku?

"Siap, Pa.." jawabku dengan malas seraya membuka pintu. Kulihat senyum Papa yang mengembang. Ngomong-ngomong, Papa terlihat lebih muda jika mengenakan stelan jas seperti itu. Sepertinya yang akan kami hadiri adalah acara yang begitu penting.

"Maa..! Ayo kita berangkat..! Prilly udah siap nih!!" Papa berteriak sambil menoleh ke arah kamarnya. Seperti biasa, Mama selalu menghabiskan banyak waktu untuk merias diri.

"Iya iya Pa.. tunggu kenapa sih.." Mama tergopoh-gopoh keluar dari kamar dengan masih memasukkan dompet serta ponsel ke dalam tas yang ia bawa. Aku terkekeh ketika mendengar decakan Papa.

***

Sepanjang jalan aku hanya menutup mataku. Bahkan untuk melihat jalanan yang lengang pun aku tak tertarik.

Hanya terdengar kekehan kecil dari Mama dan Papa yang entah apa penyebabnya.

Hingga aku merasakan mesin mobil tak lagi menyala tanda kami telah sampai. Aku menarik nafas dalam-dalam melihat bangunan yang cukup kurindukan itu. Masih ramai seperti terakhir kali kulihat ternyata.

"Ayo, sayang.. malah bengong aja.." Papa mengusik lamunanku dan kemudian menarik tanganku untuk keluar dari mobil.

Aku hanya menurut saja saat Papa menggandeng tanganku untuk memasuki Far's Cafe. Mama yang mengekor kami tampak sulit berjalan karena high heels yang ia kenakan. Dasar Mama. Siapa suruh memakai high heels setinggi itu.

Cupcake LoveWhere stories live. Discover now