Eight

13.6K 1K 4
                                    

Jangan pernah mengejarku
Karna aku akan terus berlari meninggalkanmu
Jangan pernah mencintaiku
Karna aku tak akan pernah membalas cintamu
Cintamu mungkin untukku
Tapi cintaku telah pergi dan tak akan kembali untuk siapapun itu
-Yuna Resya Tirka

Yuna POV

Aku berjalan pelan menuju perpustakaan sembari membalas chat grup sahabat SMA ku. Sahabatku saling mengirim pesan rindu yang telah membuncah dan saling berkeluh kesah mengenai perkuliahan mereka yang baru saja dijalani sama sepertiku. Pikiranku kembali teringat akan pesan yang ku dapat semalam. Sejujurnya sekarang aku sedang penasaran siapa yang mengirim pesan itu. Aku mempercepat langkahku, ingin cepat mengetahui seseorang yang mengirimkan pesan padaku. Aku ini orangnya kepo-an akut. Sesampai di lantai dua Perpustakaan, mataku langsung menjelajah; mencari-cari sosok yang patut dicurigakan dengan memperlihatkan sebuah tanda-tanda.

"Aduh ... gimana gue bisa ketemu tu orang. Kalau gak tau itu siapa dan di mana? Beneran 'kan di sini?" gumamku karna tak menemukan orang yang kucari.

Aku tak menyerah dengan kembali memicingkan mata dan menajamkan penglihatan setajam silet. Mungkin saja aku terlewat orang yang mencurigakan itu. Sayangnya sudah sepuluh menit aku disini dan beberapa petugas juga sudah berkali-kali menatapku, aku tak kunjung menemui sang pengirim pesan itu.

"Mikir ... mikir ... mik— aha ... telpon aja, telpon!" Aku memutuskan untuk menghubunginya, aku pun langsung mencari pesan yang aku dapat semalam llau bergegas menelfonnya, sembari mengitari pandangan, mana tau orang tersebut sedang bersembunyi.

'Tut ... tut ... tut ....'

"Ah, angkat dong!" seruku menatap ponsel.

Saat aku hendak menghubunginya untuk yang ketiga kali, tiba-tiba sebuah notification sms masuk dari nomor semalam.

+6281234859505

Gue dibelakang lu.

Mataku melotot, masih memegang ponsel dengan erat, aku berbalik. "Belakang gu—" mataku membesar seolah tak percaya aku berteriak penuh keterkejutan, "OH MY GOD ... LU ... NO!" aku berlari menghampiri Erno, orang yang mengirimkan pesan misterius padaku semalam. Kupukul lengannya dengan keras sembari tertawa tak menyangka, walau pun sebenarnya ada rasa sebal dibuat penasaran semalaman.

"Sakit Yun ...,"keluh Erno yang refleks menjauh; menjaga jarak agar tak aku pukuli terus menerus.

Erno itu sahabatku sejak SMP, ia adalah satu anggota DEMYDEW. Bukan hanya saat SMP, saat SMA pun kami bersekolah di tempat yang sama. Sudah cukup lama aku tidak melihatnya.Aku ikut berjalan menjauhinya, kami saling bersedekap. Ia tersenyum sedangkan aku memasang wajah kesal, dengan menutupi kebahagiaanku sebelumnya. Harusku akui, sebenarnya aku juga merindukan sahabatku ini. "Gua bete sama looooooooo!" teriakku.

'Bugh'

Tiba-tiba sebuah pulpen mendarat di dahi Erno. Aku terkejut dan membuatku tertawa melihat ekspresi kesakitannya, pelakunya langsung berseru marah. "Sstt ... jangan berisik!" aku pun berusaha menahan tawaku lalu meminta maaf dan menarik tangan Erno untuk pergi dari sana.

"Yun tunggu dong!" panggil Erno saat aku melepaskan genggaman dan berjalan mencari mobilku yang terparkir. Walau pun aku tertawa, tapi aku masih kesal dengan dia. Aku berbalik, dan menatapnya sembari bersedekap.

"SORRY," teriak Erno yang berdiri tak jauh dariku dengan senyuman bodoh khasnya. Aku hanya menatapnya datar. Ia terlihat ngeri, lalu merengek meminta pengampunan. "MAAF YUN!" teriak nya lagi.

Aku menghela napas, setelah itu aku berjalan menghampirinya lalu menempeleng kepalanya dengan kesal yang sudah kelewat konslet itu. "Lu tu ya! Bikin malu gue. Liat tu orang-orang pada ngeliatin kita. Rata-rata yang kesini mahasiswa kampus gue bodoh!"

"Ah kangen gue ditempeleng lu, dengar omelan lu! Cini peluk peluk." Erno pun merentangkan kedua tangannya, dan tak memperdulikan amarahku.

"BUKAN MUHRIM!" teriakku, aku menariknya untuk pergi dari sana.

"Lah kata nya bukan muhrim? Ini malah megang-megang tangan gue? Di islam tangan bukan muhrim juga 'kan ya? Berarti gue ternodai dong? Tolong ... gua dinodai ...," pekik Erno lebay.Tak tahan dengan omelannya yang berisik dan susah dikendalikan. Aku pun memutuskan untuk mengambil tisu yang ada di dalam tasku dan menyumpel mulut Erno dengan tisu.

"Luwuwu jaaat nget maa uwaa!" ucapnya dengan kesusahan.

Aku melotot kearahnya. "DIEM GAK LU DIEM!" perintahku sembari meremas tangannya dengan kuat.

"Aaait un aaitt!"

"BAWEL NI ANAK! DIEM!" geramku.

Dan akhirnya Erno pun memilih tak berbicara lagi. Aku membawanya ke sebuah cafe yang tak jauh dari sini. Di dalam mobil ia hanya diam sembari melihat jalanan dengan duduk tenang di kursi penumpang.

Sesampai kami di cafe. Aku memutuskan untuk mengambil tempat duduk yang berada di sudut, agar tak terlihat jika ada pengunjung lain yang datang. Aku mempersilahkannya duduk sebelum pergi memesan minuman.

"So, why are you here?" tanyaku setelah aku kembali membawa dua gelas minuman kesukaanku dan kesukaannya.

Erno hanya diam, sedangkan tangannya sibuk mengaduk minuman dengan sedotan. Karena ia tak kunjung menjawab, aku kembali bertanya,"Kenapa lo di sini?" ia masih diam, tak ada tanda-tanda ingin menjawab pertanyaanku. Aku pun menatapnya dengan sebal, sembari berujar, "No ngomong ah! Gue pulang aja kalo gini. Bete gue ama lu!"

Erno membuang sumpelan tisu yang ada dimulutnya. Ternyata sejak tadi dia belum membuang sumpelan tisu yang aku nyenyalkan ke dalam mulutnya. Wajahnya tampak tak kalah lebih kesal dari wajahku."Lu yang nyumpelin mulut gue! Lu yang nyuruh gue diem. Sekarang lu nanya gue?! Terus lu juga yang ngambek karna gak gue jawab, padahal kan salah lu! Lu yang nyuruh gua untu—"

"Bawel ah lu, kek nenek nenek kalah main lotre!" ledekku. "Jadi kenapa lu pulang?" kembali ke topik, aku penasaran kenapa dia berada di sini. Padahal seharusnya ia berada di Jakarta masuk kuliah dengan baik.

"Gue tu pu—"

"Lu berhenti kuliah?" potongku mengutarakan isi pikiranku.

"Bukan gue itu ma—"

"Mau pindah kuliah?" tanyaku lagi dengan wajah kaget, karena isi pikiranku sendiri.

Erno menatapku tajam, wajahnya kembali terlihat kesal. "Lu bisa diem gak sih?! Bawel lu ah, kayak kakek kakek kecepirit!" Ia membalikkan ucapanku sebelumnya.

"Paan sih? Kakek-kakek kecepirit? Jayus lu! Wu ...." aku mencibirkan bibir ke arah Erno. Menggodanya agar semakin kesal. Aku tertawa melihat wajah kesalnya semakin menjadi-jadi. Di tengah tawaku tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.

"Resya...? Ngapain disini, kamu gak ngampus?"

Erno menatapku mengisyaratkan ada seseorang yang berdiri di belakangku dengan dagunya. Aku berbalik dan betapa terkejutnya aku mendapati lelaki yang membuatku kesal akhir-akhir ini sedang bersedekap menatapku.

"Siapa Yun?" tanya Erno penasaran.

Ia berjalan melewatiku, dan mengulurkan tangannya ke arah Erno. "Perkenalkan Dirga."

"Erno," jawab Erno yang menyambut tangan Dirga.

"Siapanya Yuna?" tanyanya.

"Sahabatnya," jawab Erno. Dirga tersenyum mengisyaratkan sesuatu. "Dan lo siapanya Yuna?" tanya Erno dengan wajah jahilnya saat melirik ke arahku.

•••


Terakhir Revisi: 05 Juli 2019

Revisi Ulang: 1 November 2019

I Don't Care About Love [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang