Nineteen

12.8K 978 9
                                    

Setelah melihat kerpegian Winda aku berjalan kembali menghampiri Bimo dan Dera yang masih berada di kamar. Saat jarak aku berdiri dengan pintu kamar hanya menyisakan lima langkah, aku pun langsung berlari seperti orang yang datang tergesa-gesa.

"Bim ... gimana Dera?" tanyaku dengan napas yang dibuat sengaja tak beraturan.

Terlihat Bimo yang masih basah kuyup; ia yang tadinya sedang menatap Dera dengan kasihan, langsung menoleh ke arahku. "Tadi dia udah gue kasih nafas buatan, dan dia udah bangun. Tapi gue suruh tidur nunggu dokter." Ia menjelaskan agar aku tak khawatir.

Setelah mengatakan itu Bimo beralih menatap lantai dengan lesu. "Maafin gue ya, Yun? Gara-gara gue minta bantuan kalian, Deranya jadi gini." ucapnya yang merasa bersalah.

Aku menghampiri dia, menepuk bahunya pelan; memberikan kekuatan. "Udah bukan salah lo kok. Bukan saat nya untuk salah-salahan sekarang."

"Tapi—"

"Udah ah. Eh ... mendingan lo kabarin Winda deh. Rencananya kan harus tetap jalan dong." Aku memintanya menghubungi Winda seakan rencana akan terus berjalab sesuai rencananya, tanpa tau rencanaku sudah lebih dulu berjalan.

Namun dengan cepat ia menggeleng, tanda menolak. Sangat terlihat jelas di wajahnya yang merasa bersalah. "Gak usah deh Yun. Batalin aja, gue gak tega liat Dera."

"Aduh ... cepetan telpon gih!" ucapku memaksa dengan mendorong dia keluar untuk menghubungi Dera.

Dengan pasrah Bimo pun keluar kamar dan mencoba menghubungi nomor Winda. Terdengarlah suara provider.

Nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan cobalah untuk beberapa saat lagi

Bimo pun mencoba menelpon winda lagi.

Nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan cobalah untuk beberapa saat lagi

"Argghhh ... kemana sih, si Winda!" ucapnya dengan kalut.

Aku yang sedari tadi mengintip, menghampiri Bimo. "Gimanaa?" tanyaku seolah sedang memastikan

"Gak aktif Yun. Kayaknya rencana kita batal deh." Ia memut

•••

Malam ini adalah malam tahun baru. Sejak kejadiaan Dera tenggelam di kolam renang cafe sepupunya, yang terjadi beberapa minggu yang lalu, sampai saat ini gue belum pernah lagi bertemu dengan Dera, Bimo maupun Winda.

Seperti biasa malam tahun baru aku ngumpul-ngumpul dirumah tanteku. Saat aku sedang bakar jagung di halaman rumah, tiba-tiba Bang Endi ngehampiriku dengan motor maticnya. "Yun...? Temani Abang beli kembang api yuk?" ajak bang Endi— abang sepupuku.

"Ayuk." Dengan semangat aku langsung menaiki motornya.

Bang Endi melajukan motornya keluar rumah. "Dimana belinya bang?" tanyaku sambil memperhatikan jalan yang mulai rame karena malam tahun baru.

"Disitu aja," tunjuknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang gas; melajukan motor.

"Lo yang turun ya? Abang tunggu disini. Nih ... uangnya." Ia memberikan beberapa lembar uang berwarna merah, yang langsung aku ambil.

"Bang, berapa satu?" tanyaku ke salah satu abang-abang yang sedang sibuk mencari uang kembalian untuk pembeli yang lain.

Belum sempat si abang menjawab, seseorang menyapaku. "Yuna?"

Aku menoleh ke samping kananku lalu aku sedikit terkejut. "Loh ... Gadha? Ngapain disini?" tanyaku. Di mana-mana ketemu dia!

"Menurut Lo? Gua ngapain? Mangkal?" tanyanya dengan nada yang sedikit menggoda.

I Don't Care About Love [1]Where stories live. Discover now