Twenty Three

11.4K 893 18
                                    

Satu bulan setelah pertemuan terakhirku dengan Marsha di rumahnya, aku kembali berkumpul dengan mereka di salah satu tempat makan. Hari ini lengkap karena mereka semua sudah berjanji untuk datang.

"Gimana kuliah kalian?" tanya Evna membuka pembicaraan.

Aku yang sedang menghubungi Marsha dan Winda hanya melirik sekilas kearah Evna.

"Ya gitulah. Tinggal satu kali kesempatan lagi buat bolos," ucap Divo terlihat wajahnya sangat lesu saat mengatakan itu.

Dengan kejam Erno yang duduk di samping Divo langsung menempeleng kepala Divo. "Lu mau jadi mahasiswa abadi, bolos kuliah mulu?"

Divo pun membalas perbuatan Erno dengan tak kalah kejam.

"Eh udah ... udah, ribut kali kalian ini," lerai Evna dengan logat bataknya.

"Hai guys ... sorry gue telat." Dera menyapa kami semua sambil menggandeng Gadha di sampingnya.

Dera mengambil tempat duduk di samping Evna yaitu didepan Erno. Sedangkan Gadha yang duduk di samping Dera berada tepat di hadapanku.

"Gadh jangan natap Yuna penuh nafsu gitu dong," tiba-tiba Erno berceletuk asal seperti biasanya. Ya sangking asalnya dia ngomong, gak dipikirin lagi perasaan sahabat tercintanya.

Aku yang duduk di sampingnya merasa tak tahan menahan kesabaran dengn menempeleng kepala Erno dengan jengkel.

"Aih dah! Bisa bego gue nanti, kalo di tempeleng mulu," keluhnya sambil mengelus kepalanya dengan raut minta kena tambah tempeleng.

Tak lama Winda datang bersama Marsha.

"Kalian bareng?" tanya Dera kepada keduanya.

Winda tak mengindahkan pertanyaan Dera, ia malah meminta maaf karna telat. "Sorry gue telat."

Begitu juga dengan Marsha. Ia malah duduk di bangku kosong samping Gadha. "Gue juga, sorry telat." Tiba-tiba Marsha melirik Gadha sinis. "Perasaan gue. Kalo kita ngumpul gak dibolehin bawa pacar deh."

"Bukan gak boleh, Sha. Tapi ... di sarankan gak usah bawa pacar, nanti bisa-bisa DIEMBAT TEMEN SENDIRI, lagi." Aku tau, yang di katakan Winda itu adalah ungkapan dari hatinya atas kekesalannya pada Dera. Ntah Dera sadar atau gak, kalo sebenarnya Winda sedang menyindirnya abis-abisan.

Aku melirik Dera yang hanya membisu sejak kedatangan keduanya tidak seperti dia sama sekali, sesekali ia melirik Marsha dan Winda, sedangkan keduanya langsung menatap Dera sengit, tanpa merasa tak enak hati. Suasana ini sangat berbeda dengan beberapa bulan yang lalu, waktu terakhir kali kami semua bertemu.

Keadaan hening dan mencekam ini terasa lama, untunglah tak lama pelayan datang membawa makanan dan minuman yang sudah aku pesan saat aku pertama kali datang.

"Makanan dan minumannya udah gue pesan sesuai kesukaan kalian," ucapku memberi tahu mereka semua.

"Loh si Gadha juga, Yun?" tanya Divo dengan wajah polosnya. Sangking polosnya pengen aku coret-coret tuh muka biar ada karyanya. Sialan si Divo, aku tahu maksud lo biadab!

Gak mungkin dengan keadaan seperti ini mengumpatinya 'kan? Aku akhirnya cuma bisa mengangguk dan tersenyum mematikan kearahnya.

"Yaiyalah, masa gak tahu makanan dan minuman kesukaan mantan. Ya gak, Yun?" ucap Erno.

Erno benar-benar ingin cari mati sepulang dari sini! Tapi bukan aku yang bunuh dia kayaknya, aku sedng tidak ingin membunuhnya. Karena aku sedang bahagia menikmati suasana mencekam seperti saat ini.

Dera seakan tak perduli, ia malah mengambil makanan Gadha dan memberikannya. "Nih ... Yang," ujarnya lembut. "Mau aku suapin?" lanjutnya menawari Gadha bala bantuan.

I Don't Care About Love [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang