Nine

14.3K 1K 7
                                    

Masa mencintai telah habis
Hatipun telah tertutup
Tak ada yang bisa menyentuh lebih dalam
Dan tak ada cinta yang tulus dari hatiku terdalam
Jika kau berusaha tuk buatku jatuh cinta
Buatlah dirimu mencintaiku dengan sangat
Egois memang
Aku tak akan pernah mencintaimu terlebih dahulu
Karna sakit yang terdahulu
Sangat membekas dihatiku
-Yuna Resya Tirka

"Resya...? Ngapain disini, kamu gak ngampus?"

Erno menatapku mengisyaratkan ada seseorang yang berdiri di belakangku dengan dagunya. Aku berbalik dan betapa terkejutnya aku mendapati lelaki yang membuatku kesal akhir-akhir ini sedang bersedekap menatapku.

"Siapa Yun?" tanya Erno penasaran.

Ia berjalan melewatiku, dan mengulurkan tangannya ke arah Erno. "Perkenalkan Dirga."

"Erno," jawab Erno yang menyambut tangan Dirga.

"Siapanya Yuna?" tanyanya.

"Sahabatnya," jawab Erno. Dirga tersenyum mengisyaratkan sesuatu. "Dan lo siapanya Yuna?" tanya Erno dengan wajah jahilnya saat melirik ke arahku.

"Dosen," jawabku cepat sebelum Erno berpikiran macam-macam.

"Resya? Bukannya kamu ada kelas, pagi ini?" tanya Dirga, karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Aku mencoba tersenyum dengan ramah agar Erno tak terlampau curgia. "Gak jadi, Pak dosennya gak datang Pak," jawabku.

Aku beralih mentap Erno yang kebingungan. Erno membalas tatapanku dengan penuh tanda tanya karena ternyata Bapak Dosen Dirga masih berdiri ditempatnya.

"Pak mohon maaf," ujarku. "Saya ada keperluan dengan sahabat saya jadi bapak bisa cari tempat lain saja Pak?" tanyaku dengan nada suara terdengar ramah namun kalimat sarkas.

Dirga tak menjawab, ia langsung pergi begitu saja dengan tampang datar. "Lah, ngambek dianya," ucapku pelan.

"Eh, lo gila ngusir dosen lu begitu? Ntar nilai lo kenapa-kenapa lagi," ujar Erno yang masih memandang ke arah Dirga yang memilih duduk cukup jauh dari kami, padahal ada beberapa kursi kosong di dekat kami duduk.

"Gak akan! Sekarang lo jelasin dulu, kenapa lo ada disini sekarang dan kenapa lo SMS gue sok-sok misterius gitu, LAY?!" aku mengembalikan topik yang sempat terjeda lama.

Erno menggaruk kepalanya yang gue yakin kurapan. Eh gak deng, masa sobat gue kurapan gak elit bet dah. Setelah itu dengan tampang bodohnya, ia pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Jadi tuh, gue kesini ... mau ambil ijazah dan mau minta tolong lu nemenin gue ngambil tu ijazah."

"Kenapa gak langsung chat gue aja udin! Musti ya SMS, ngabisin pulsa gue aja!" geramku.

Ia cengengesan tanpa ada rasa bersalah. "Kan gue udah lama gak ngisengin lo mblo! Seru kan?" kekehnya kesenangan karena berhasil membuatku tak habis pikir dengan keajaiban tingkahnya.

"Seru apaan? Terus lu kenapa ngajak ketemuanya di perpustakaan dekat kampus gue?"

Erno diam sejenak tampak berpikir, wajahnya terlihat ragu. Namun, ia tetap mengatakan yang sebenarnya. "Soalnya Dera cerita, tentang Gadha yang nemuin lu di perpustakaan." ucapnya.

Aku berusaha menutupi keterkejutanku dengan bertanya, "Ya terus apa hubungannya?"

Wajah Erno berubah serius saat mengatakan, "Terus—"

•••

Aku memarkirkan mobil di depan rumah. Setelah berbincang sebentar dengan Erno, kami berdua pun langsung pergi menuju sekolah. Menimbang Erno tak mempunyai waktu lama untuk berada di Jambi, karena harus kembali secepatnya ke Jakarta. Ijazahnya diperlukan untuk syarat mendapatkan kartu ujian semester. Halaman rumahku terlihat sepi, seperti biasanya. Mobil Papaku tak berada di tempatnya, sepertinya ia belum pulang kerja. Sedangkan mobil Mamaku terlihat ada, sepertinya Mamaku sudah pulang kerja. Aku berjalan masuk ke dalam rumah, menenteng tas kuliahku.

"Assalamualaikum," aku membuka pintu sembari mengucapkan salam.

"Walaikumsalam, dari mana na?" jawab Mama dengan sedikit berteriak tanpa melihatku karna dia sedang menonton acara gosip.

Aku memutuskan untuk menghampiri Mama dan duduk disebelahnya karena ingin berbincang. "Tadi abis nemenin Erno Ma, ke sekolah."

"Ngapain kesekolah?" tanyanya.

"Ambil ijazah Ma," jawabku.

"Ooo ....", mama hanya mengatakan itu dan kembali melanjutkan menonton acara gosipnya dengan asik. Sepertinya acara gosip lebih menarik dari ceritaku.

Aku ikut memandangi televisi, acara tersebut menampilkan gosip yang sedang hangat mengenai hubungan percintaan sepasang artis yang dikabarkan cinlok. Bibirku tanpa berpikir tiba-tiba bertanya pada Mama, "Ma ... Yuna boleh pacaran gak sih?"

Mama menoleh, ia menatapku dengan lekat. Sembari tersenyum ia berkata, "Terserah kamu aja. Asal tau batasnya aja. Lagian ... kamu udah gede kan? Udah kuliah, pacaran boleh, asal jangan tek dung aja sebelum waktunya."

Setelah mengatakan hal bijak tersebut, Mamaku kembali fokus memandangi TV. Aku jadi heran, kayaknya lebih asik tu TV kali ya? Karena seperti tak begitu diharapkan, aku melenggang pergi menuju kamar.

Saat aku hendak membuka pintu kamar, mama tiba-tiba bertanya, "Emangnya, kamu udah ada pacar lagi?"

Deg

Tubuhku langsung menegang. Backstreet yang selama ini aku jalani ternyata telah diketahui Mama tanpa aku ketahui pula. Bukankah ini seperti rahasia umum? Tahu dari mana pula Mama, kalau selama ini aku mempunyai pacar? Tapi sebentar, Mama memang mengetahui aku mempunyai pacar, karena aku pernah ketahuan Papaku. Tapi putusnya? Tahu dari mana pula Mama? Ah ... pusing! Emang dasar emak-emak, tau aja rahasia anaknya.

"GAKKK KOOOKKK!" elakku, aku bergegas membuka pintu, mengindari mama dengan berdiam di dalam kamar.

•••

Sudah dua hari berlalu, sejak Erno menemuiku. Tadi pagi dia pamit balik ke Jakarta. Pertemuan kami hari itu masih terngiang di pikiranku, di mana ia menceritakan tentang Dera yang mengetahui pertemuanku dengan Gadha. Ternyata Dera sendiri yang meminta lelaki itu menemuiku, ia ingin Gadha menyelesaikan masalalunya denganku agar masa depan mereka bisa berjalan dengan lancar. Memangnya mereka siapa? Dengan seenaknya mengorbankanku demi kebahagiaan mereka? Apa tidak cukup dengan hubungan yang mereka jalani selama ini?

Ku tatap handphone yang sejak tadi berdenting tanda notification masuk. Hidupku sangat datar untuk dua tahun ini. Dan kembali berwarna beberapa bulan ini. Bukan berwarna indah seperti pelangi tapi berwana gelap seperti mendung yang mencekam dan ingin menangis.

Jika boleh aku minta satu hal, aku ingin kembali kemasa lampau, enam tahun yang lalu. Saat aku mengucapkan janji di depan sahabatku, untuk tidak akan pacaran sampai aku siap dan telah mempunyai pekerjaan di masa depan. Tapi sayang, janji tinggalah janji. Hanya karena ingin seperti sahabatku. Aku dengan bahagianya menerima perasaan bocah yang baru saja tamat dari seragam putih merahnya.

Awalnya perbedaan umur bukanlah alasan namun ternyata lama kelamaan pada akhirnya menjadi permasalahan. Disaat aku marah, aku harus menjadi perempuan dewasa dengan menahan ego hanya demi seorang bocah yang katanya aku cintai. Sebenarnya tahu apa aku soal cinta kala itu? Aku mencoba mengerti arti cinta padahal ... aku sama sekali buta akan cinta.

Jika saja awalnya tak terjadi, gue yakin pasti hidup gue gak akan serumit ini sekarang. Disaat gue tahu sahabat gue berpacaran dengan mantan terakhir gue, gue marah. Bukan marah kepada sahabat gue terlebih marah kepada diri gue sendiri. Kenapa selama ini gue menjadi pembatas antara sahabatnya dan mantan gue, kenapa gue harus berpacaran dengan dia saat itu? Seharusnya gue gak lakuin itu.

Tapi dilain sisi, terkadang gue ngerasa kecewa yang sangat mendalam kepada sahabat gue. Bahkan ... gue merasa terluka dan itu membekas sangat-sangat membekas.

Jika gue selalu tersenyum dan berkata semuanya baik baik saja, berarti luka yang gue simpan belum membusuk hingga tercium.

Setelah merenungkan diri. Gue menghibur diri dengan membuka instagram. Gue tak menghiraukan notification line grub sahabat gue yang bermunculan. Tiba-tiba, gue melihat sebuah foto. Foto Gadha dan Dirga yang saling merangkul satu sama lain.

"I ... ini mak ... maksutnya apa?" lirih Gue dengan dada yang kembali menyesak.

•••

Terakhir Revisi: 05 Juli 2019

Revisi Ulang: 1 November 2019

I Don't Care About Love [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang