Ketujuhbelas

16.3K 949 25
                                    

Tigabelas tahun kemudian..

Mentari pagi di kota Jakarta seakan enggan muncul, ia lebih memilih untuk bersembunyi dibalik awan komulonimbus yang perlahan berwarna keabu-abuan tanda sebentar lagi hujan akan turun.

Setetes demi setetes hujan akhirnya turun membasahi kota Jakarta yang sangat panas. Udara panas menguar ke udara membuat salah seorang dari orang-orang yang tengah menunggu bis bersin-bersin dari tadi.

"Alhamdulillah" ucap seorang wanita berhijab sambil menutup mulutnya setelah bersin.

"Yarhamukillah" ucap seorang ibu-ibu yang berdiri di sebelahnya.

"Yahdiikumul loohu wa yaslihu balakum" balas wanita berhijab pink yang bersin tadi tersenyum kepada ibu-ibu tersebut. Bis yang ditunggu datang, wanita itu mempersilahkan ibu-ibu tersebut untuk masuk duluan. Tak berapa lama bis berjalan menuju tempat yang ia tuju.

"Dokter?" tanya seorang wanita yang berumur tidak jauh dibawahnya menepuk bahu wanita yang berhijab pink tadi. Seketika wanita yang disapa menoleh.

"Eh Loly" ucap wanita berhijab pink tersebut dengan senyum manisnya.

"Dokter Laras kenapa bisa disini?" tanya Wanita tersebut.

"Yah.. Mobil saya tadi mogok, jadi naik ini saja" ucap Laras.

"Oo.. Begitu" ucap Loly mengangguk mengerti.

**

Seorang lelaki berstelan kemeja dongker dan celana hitam berdasi merah maroon melipatkan tangan didepan dadanya. Memperhatikan langit Jakarta yang sudah mengeluarkan air hujan dari jendela diruangannya yang langsung menampakkan pemandangan kota Jakarta. Ia menatap kosong langit tersebut dan mendesah pelan. Begitulah kegiatan rutinitasnya sebelum ia memulai pekerjaannya sehari-hari.

Tak berapa lama, suara ketukan dari pintu menyadarkannya kembali, membuat ia mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk ruangannya.

Tampak seorang lelaki bertubuh jangkung dan memakai kacamata masuk kedalam ruangan yang bernuansa abu-abu sambil membawa beberapa map kemudian meletakkannya diatas meja yang memounyai papan nama wakil direktur.

"Pak, ini berkas-berkas yang harus bapak tanda tangani. Dan saya hanya mengingatkan bahwa nanti kita akan ada rapat bersama Mr. Kim" ucap lelaki berkacamata sambil menggeser kacamatanya yang melorot dari hidungnya.

"Ada lagi?" tanya suara bariton tersebut.

"Hanya itu pak" ucap lelaki berkacamata tersebut. Ia memperhatikan wajah bossnya. Selalu seperti itu, sangat lesu.

"Lo kenapa lagi sih Wan?" tanya lelaki berkacamata tersebut mendekati bossnya. Iwan hanya menggeleng dan menopang dagunya keatas meja kebesarannya setelah ia menduduki kursi kebesaran yang sangat nyaman untuk menemaninya seharian untuk bekerja.

"Kirana lagi? Iwan, ini sudah tigabelas tahun, lo gak mau nyari cewe lain?" ucap Adam. Ia akan seperti ini jika wajah Iwan tampak tidak bersemangat, sudah seharusnya ia lakukan jika sahabatnya sedang tidak bersemangat karena memikirkan seseorang yang jauh disana tanpa kabar darinya selama ini.

"Apa maksud lo berkata seperti itu?" tanya Iwan dengan mata tajam. Adam menghela nafasnya.

"Kalau gue jadi lo, gue akan cari cewe lain, karena gue gak mau nyiksa diri gue menunggu kabar yang tidak pasti" ucap Adam. Iwan masih menatapnya tajam, kemudian perlahan kepalanya tertunduk menatap mejanya.

"Lo bener Dam, tapi gue gak bisa kayak gitu" ucap Iwan frustasi.

"Gue udah kesana, tapi dia gak ada disana, usaha gue untuk mencari dia selalu gagal. Dia seperti ditelan bumi, menghilang begitu saja" ucap Iwan kembali dengan nada frustasi. Adam menghela nafasnya lelah mendapati sikap Iwan seperti itu terus jika teringat Kirana. Masih seperti itu selama tigabelas tahun.

CantikWhere stories live. Discover now