Keduapuluhtiga

18.6K 852 19
                                    

Laras menghela nafasnya lelah. Seharian ini banyak sekali pasien yang mengantri untuk berobat kepadanya. Ia merentangkan tangannya keatas untuk merilekskan tubuhnya. Laras melihat kesekililing ruangannya dan tersenyum tipis. Ia tak menyangka sudah empat tahun ia bekerja disini sejak mendapatkan gelar SpOT, ia diminta untuk bekerja diklinik besar tersebut oleh pamannya yang kebetulan pemilik klinik ini.

Seorang wanita dengan berpakaian putih-putih khas pakaian resmi suster kebanyakan, muncul dari balik pintu.

"Mbak ada satu pasien lagi" ucap wanita tersebut. Laras mengangguk dan menyuruh pasien yang dimaksud masuk.

Tak lama kemudian seorang laki-laki dengan setelan kemeja biru cerahnya masuk dengan agak susah payah berjalan kearah Laras. Laras yang melihat hal tersebut seperti tidak tegaan, ia lalu membantu untuk membopong tubuh pria tersebut dan mengarahkannya kearah brankar yang tersedia.

"Duduk dulu ya pak. Saya akan mengambil peralatan yang akan dibutuhkan" ucap Laras ramah. Tak ada jawaban dari pria tersebut. Hanya senyum tipis yang muncul diwajahnya yang tidak diketahui Laras, karena sejak tadi Laras tidak memperhatikan wajah pasiennya ini.

"Saya periksa dulu ya pak kakinya" ucap Laras. Pasien tersebut mengangguk. Laras memulai pekerjaannya. Laras membungkukkan badannya. Ia melihat kaki yang terasa sakit untuk pasiennya ini.

"Laras" suara bariton tersebut membuat Laras berhenti dan mendongakkan wajahnya, menatap wajah pasien yang memanggil namanya. Laras terdiam cukup lama menatap mata dengan iris coklat gelap tersebut. Begitu juga pasien pria tersebut menatap manik mata coklat terang milik Laras.

"A.. Adam?" ucap Laras tidak yakin. Senyum tipis menghiasi wajah Adam menatap Laras yang sudah tidak ia jumpai sejak lima bulan yang lalu. Laras merasakan detak jantungnya berkali lipat cepatnya dari biasanya. Dada Adam berdesir ketika melihat wanita yang telah ia sukai dari SMA berada dihadapannya.

Laras berdeham cukup keras memecahkan keheningan yang terjadi. Ia mengalihkan pandangannya ke arah kaki Adam yang tengah ia periksa. Laras lalu berdiri tidak berani ia menatap Adam untuk kali keduanya lagi. Ia lebih memilih untuk berjalan kearah meja. Laras menyambar kertas dan penanya. Ia mulai menulis resep-resep obat yang diperlukan Adam untuk menyembuhkan kakinya yang terkilir.

"Kaki anda terkilir pak, ini resep obatnya, silahkan anda berikan ke suster yang didepan dahulu sebelum anda berikan ke apotik kami" ucap Laras membuat kening Adam bertautan heran kearah Laras yang masih berkata resmi kepadanya. Hanya seperti dokter dan pasien. Hanya seperti itu.

"Laras, kamu masih marah ya?" tanya Adam masih setia duduk ditepi brankar. Menatap punggung Laras yang akan berjalan menghindarinya.

"Nggak ada yang perlu dibicarain Dam, semuanya sudah selesai" ucap Laras menegang. Adam menghela nafasnya panjang. Ia bisa memahami kalau Laras marah dengannya yang tidak mendukung semangat Iwan menunggu sebentar lagi untuk Kirana dan malah mendukung Iwan untuk segera bersama adiknya.

"Aku minta maaf" ucap Adam. Tubuh Laras menegang menahan amarahnya. Ia teringat wajah Kirana yang menangis frustasi selama ini, dan laki-laki dibelakangnya ini hanya bisa melontarkan kata-kata maaf dengannya. Apakah kata maaf bisa mengubah segalanya.

"Apa kata maaf bisa mengubah segalanya?" tanya Laras sarkastik. Hening terjadi diantara mereka. Adam hanya memperhatikan kakinya yang terasa menarik untuknya saat ini. Ia hanya bertanya dalam hati. Mengulang pertanyaan Laras didalam hatinya untuk dirinya sendiri.

"Pemeriksaan anda sudah selesai pak. Silahkan anda keluar" ucap Laras. Adam lalu turun dari brankar dan berjalan agak susah payah ke arah pintu keluar. Sebelum ia meraih gagang pintu tersebut. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap Laras dengan tatapan yang membuat benteng Laras hampir runtuh, mendapati tatapan frustasi dimanik mata Adam.

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang