CHAPTER 18

173 5 1
                                    

Pembunuhan terhadap Zainal membuat dunia kepolisian berkabung, baik yang secara terang-terangan mengagumi sikap jujur seorang Zainal, maupun yang hanya secara diam-diam saja, para kerabat-nya merasa kehilangan atas dirinya, Noval hanya terduduk, terdiam di sebuah lorong Markas besar Militer Angkatan Darat, ia diundang oleh mantan atasannya yang selalu baik padanya, Letkol Romi yang memberinya pekerjaan sebagai Polisi, Letkol Romi merasa harus membujuk Noval dan menguatkan hatinya di tengah-tengah kepedihan yang tengah ia derita.

"Tenanglah, aku tahu apa yang kamu pikirkan, kamu pasti sedang marah dan ingin membalaskan dendam semuanya." Ujar Romi.

"Saya tidak tahu, di dunia ini saya hanya percaya sama bapak, dan saya senang punya seorang rekan yang baik seperti Zainal, dia bisa menjaga hati saya dari hal-hal buruk, seperti penyogokan, penyuapan, korupsi, Zainal adalah orang yang tidak tertarik dengan itu semua." Terang Noval Pratama.

"Kamu saya panggil kesini untuk berdiskusi, jangan dijadikan beban, kamu tidak perlu menanggung semua beban ini dipundak-mu, aku tahu siapa kamu, Saya mohon kepada kamu jangan berbuat onar, Saya ingin kenalkan kamu dengan Mayor Yulianto, dia seorang Psikolog Militer, bicara yah sama dia, aku antar kamu ke ruangannya." Ujar Letkol Romi.

Romi menuntun Noval ke ruangan Yulianto, disana ia disambut hangat oleh Yulianto, sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, hanya ada sebuah meja kayu diantara Yulianto dan Noval, serta pulpen, notebook, dan tumpukan beberapa buku disamping meja, dan dibelakang Yulianto terdapat sebuah rak buku yang cukup besar, serta sebuah jendela yang sedikit terbuka, disampingnya, Romi pun meninggalkan mereka berdua.

"You are a Great Man." Puji Yulianto.

"Terimakasih Pak."

"Saya tahu perkembangan karir-mu, Bapak Romi juga banyak bercerita tentang kamu, jadi sudah berapa kali melakukan penembakan dengan senjata sniper-mu itu di medan perang?" Tanya Yulianto.

"Yang dikonfirmasi oleh Angkatan Darat adalah 73 Pak, secara hitungan tidak resmi mungkin sekitar 90."

"Bagus, kamu bertandem dengan siapa biasanya di medan perang?"

"Saya sudah tiga kali tandem dengan Spotter [Penanda], tapi saya lebih nyaman bertandem dengan Dhonie, dia bagus, rajin, teratur, serta ulet dalam mengintai dan mengamati lingkungan sekitar, ketepatan dalam membaca arah angin, melakukan kalkulasi jarak sasaran, sudut tembakan dan gravitasi juga baik. Kordinasi dan reaksi" Ujar Noval.

"Apakah kamu menganggap perang adalah sebagai sebuah beban atau kesenangan ?"

"Lebih kepada tanggung jawab sebenarnya, saya menghormati Negara saya, dan saya harus memagari Negara ini dari ancaman musuh baik dari dalam maupun dari luar." Tegas Noval.

"Apakah kamu pernah merasa bersalah saat menembak dan membunuh musuh?"

"Tidak, saya tidak pernah menyesalinya, saya hanya menyesal saat saya salah target, itu saja."

"Saya mengerti, bahwa kamu sedang dalam kondisi yang kurang baik, depresi, perasaan kehilangan, rasa sakit dikepala akibat pelatihan yang panjang serta terlalu banyak mendengar suara tembakan atau meriam, mengganggu sensitifitas pendengaran-mu hingga sekarang, perang telah berlalu tapi itu masih menghantui-mu, Saya ingin agar kau bisa merelaksasikan pikiran, tubuh, dan jiwa-mu, mendengarkan alunan musik yang tenang, rekreasi, pergi ke laut, gunung, atau luar negeri, atau mencari kekasih, semua itu bisa membantu-mu agar bisa hidup tenang, serta jauhkan diri dari suara-suara kencang, televisi dan headseat, serta musik di bar dan diskotik serta kurangi merokok dan minum-minuman keras dapat membantu-mu untuk hidup secara sehat kembali." Ujar Mayor Yulianto panjang lebar.

"Ya, mungkin saya kelelahan Pak."

"Saya juga punya banyak pengalaman mengerikan saat perang, salah satunya saat teman saya sudah bercucuran darah akibat tertembak dipipinya, desingan peluru musuh terus menghujam, saya harus mencari tempat yang aman, agar bisa menolong rekan saya tersebut, atau sebuah konvoi militer yang terkena ranjau musuh, membuat kedua rekan saya di dalam kendaraan tersebut terpanggang api dan hancur berkeping-keping, saat pulang, seorang tentara membawa sebuah helem yang didalamnya masih melekat darah dan rambut milik seorang tentara yang tewas di konvoi militer tersebut, saya tahu itu helem tentara milik teman saya, karena goresan panjang disisi helemnya adalah saya yang buat, pada saat saya meminjam helem tersebut untuk latihan." Terang Yulianto.

Noval hanya terdiam dan terkesima, bahwa perang telah merubah segala-nya, tetapi bahwa raut wajah dari Yulianto yang sepertinya sedang baik-baik saja ternyata di belakang semua itu ia menyimpan banyak kisah mengerikan dalam hidup-nya, ini bukan soal cerita hidup seorang preman yang menusuk seseorang dijalanan dengan pisau balok es, kemudian ia berceloteh dengan bangga di warung kopi soal masa lalu-nya itu, tapi ini soal nyawa teman-teman kita yang tidak bisa kita selamatkan.

Maria menemui Rafi dikantor pribadi-nya, seperti biasa diruangan tersebut hanya ada Ratna Eka sedang berdiri di depan komputer mengerjakan sesuatu, Maria terus berjalan melewati pintu kaca otomatis dan menemui Rafi yang tengah terduduk di ruangan-nya.

"Kamu sudah gila yah ? kamu benar-benar membunuh polisi itu?" Tanya Maria.

"Ya mereka memang harus mati, ini sudah bahaya, mereka terus berusaha merangsek masuk ke dalam dunia kita." Jelas Rafi.

"Lalu kenapa tidak tuntas? Yang mati hanya satu polisi, yang satu selamat, sementara orang-mu malah tewas di terjang timah panas dari polisi yang masih hidup itu." Kata Maria.

"Tenanglah, dia bukan orang kita, dia hanya seseorang yang aku bayar untuk membunuh, tidak ada di database kita, tidak akan penuntutan ke arah kita." Ungkap Rafi.

"Ya semoga saja kamu benar, kalau tidak, ini bisa bahaya." Kata Maria.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 21, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KEHABISAN PELURUWhere stories live. Discover now