Part 7

12.1K 1.1K 145
                                    

Arya tertawa. "Oh iya benar juga, gue cepatin jam yang di kantor deh."

"Pst, udah nggak usah aneh-aneh, buruan lo benerin jam 6.28, dua menit lagi bel tapi kelas masih kosong, parah nih nggak disiplin," dumelku tetapi pasti bagi Arya ocehanku tidak penting. 

Cowok berjambul itu turun setelah menyelesaikan tugasnya.

"Kalo gue bawa motor sendiri pasti nyampenya bisa lebih cepat. Si Novan bawanya lama mana nggak berani nyalip," oceh Arya berjalan ke kursinya. 

Aku mengekori Arya karena satu-satunya dia yang bisa diajak bicara.

"Lo bawa sendiri dong? Atau, lo yang bawa motornya Novan." Aku berdiri di depannya.

"Motor gue lagi disita, Senin baru balik," jawabnya sambil menguap lebar. "Gue bawa motor Novan pas sampe di sekolah dia pucat pasi. Kasihan dia mual-mual."

"Lo gila!" seruku sebelum kembali ke mejaku. Dia tertawa semakin meyakinkanku dia memang aneh.

Arya mendatangi mejaku lalu mengeluarkan uang empat lembar merah dan memberikannya padaku. 

"Big thanks my bestfriend."

"Bestfriend? Sejak kapan? Eh, kelebihan selembar nih," ucapku memisahkan selembar memberikannya lagi pada Arya.

"Udah simpen aja anggap gue nabung, kalo butuh uang gue tinggal ke lo lagi," katanya santai seolah aku emaknya atau mbak-mbak teller bank.

"Sip, lunas. Jangan ngutang sama gue lagi, nagih lo susah." 

Aku mengantongi duit dengan hati gembira, asyik duitku banyak lagi bisa buat nongki-nongki. Saat tersadar jam tangannya ada di tasku, aku mengambilnya dan memberi pada Arya. Dia menerima jam tangannya dengan ceria.

"Masa susah? Nggak pake tukang pukul atau debt collect tuh," sahutnya sambil duduk di mejaku dan memasang jam di tangan. Aku memutar kedua bola mata.

"Pinjem tuh dua ribu atau goceng, lo kira gue nggak ada kebutuhan?" jawabku membuat wajahnya berubah jadi merasa bersalah.

"Ya sori, kepepet. Duit gue waktu itu cuma sisa 60 ribu. Terus itu bapak berkumis tebal maksa minta ganti rugi kalo nggak gue mau diamuk masa. Mata duitan!" Arya tampak kesal.

"Lagi lo bawa mobil labil, ngerem mendadak segala. Ckck..."

"Namanya juga masih belajar," jawab cowok itu. "Gue masih belajar, Sas. Kemarin kepepet. Gue harus jemput nyokap gue di rumah sakit, nyokap gue lagi hamil tua. Bahaya. Bokap gue mendadak ke rumah sakit lainnya."

"Hah? Masa hamil si? Lo kan udah tua masa mau punya adik lagi? Wow, subur banget nyokap lo dong!" seruku antusias.

Arya menatapku masam. "Iya, hamil lima bulan. Kenapa? Jangan ketawain, nanti lo kena loh, sumpah kata nyokap gue rasanya beda hamil pas masih muda dan udah agak tua."

Ini cowok baik dan sayang banget sama ibunya ya? Kata mamaku kalau cowok yang menghormati, sayang dan baik pada ibunya kelak dia punya istri akan diperlakukan sama dengan lembut dan baik.

Ngaco! Aku baru saja berpikiran bahwa Arya akan menjadi suami yang baik.

Gila lo, Sas!

"Oh, hebat. Selamat ya, bakal punya adik lagi, seru pasti jadi rame deh!"

Arya terkekeh. "Rame banget pasti."

Kok gue nyambung ya ngomong sama dia? Kalo lagi asyik sih lumayan.

Bel berbunyi. Keasyikan ngobrol aku baru menyadari kelas sudah terisi beberapa anak murid, anak cowok di belakangku sibuk ngobrol pertandingan bola tadi malam. 

SashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang