Extra

13.8K 1.1K 138
                                    

Rasanya seperti mimpi.

Cahaya matahari sebelum pukul 9 sangat bagus untuk menjemur bayi. Tidak terasa usia perkawinanku dengan Arya sudah menginjak 8 tahun, kami sudah dikaruniai tiga orang anak. Iya benar tiga anak yang lucu-lucu menggemaskan dengan pipi cubit-able.

Terdengar suara tawa anak kecil yang lari menuju pekarangan belakang --tempat di mana aku sedang menjemur anakku yang baru lahir. Masih berusia sebulanan.

Seorang anak kecil cewek berambut panjang dikepang dua lari sambil tertawa geli memasuki pekarangan, dia bersembunyi di balik pohon pisang sambil menahan tawa dengan menutup mulutnya.

Aku menahan senyum, anak itu pasti baru mengerjai bapaknya. Arya kerap sekali menjadi bahan keusilan anak-anak.

Namanya Shaira, anak pertama kami yang baru sekolah kelas 1 SD. Shaira jailnya minta ampun, sasaran empuknya di rumah adalah Arya. Entah kali ini dia ngerjain apalagi.

Bayi mungil yang sedang aku gendong adalah Zelvani. Anak ketigaku yang juga berjenis kelamin perempuan.

Anak keduaku ke mana ya?

Aku mengedarkan pandangan. Oh itu dia. Seorang bocah cowok berumur tiga tahun yang lagi jongkok menekuri tanah adalah Arga. Dia yang paling pendiam sibuk dengan dunianya sendiri. Tidak perlu curiga dan bertanya-tanya mengapa anak itu jongkok diam saja.

Pasti sedang melihat serangga yang banyak di pekarangan rumah.

"Sayang, liat Illa nggak?" tanya sesosok pria di ambang pintu dengan wajah penuh coretan merah-merah berantakan. Illa adalah nama panggilan Shaira.

Aku tidak menjawab malah tertawa lebar sekali, tatapan Arya semakin tajam. Aku tidak peduli karena wajahnya saat ini sangat lucu di mataku.

Arya berjalan ke arahku, "Kok ketawa sih? Illa parah ya muka ayah dicoret-coret jadi jelek begini? Awas kalo ketangkap!" serunya.

"Kenapa muka kamu rata memerah, Sayang?"

"Dicoret-coret pake lipstik kamu pas lagi tidur. Aku gosok pake tangan malah merahnya melebar. Anak itu benar-benar!!" pekiknya gemas.

Mata Arya menangkap pemandangan Arga yang lagi jongkok, "Sayang, Arga ... aku takut dia kenapa-napa."

"Nggak bakal. Dulu aku begitu kok. Udah jangan khawatir," sahutku santai. Arga senang melihat binatang kecil yang jalan, dan binatang besar lainnya.

Mirip saat aku kecil dulu yang suka sekali main di kebun.

Arya menghela napas pasrah. Kepalanya menggeleng. "Kenapa anak kita nggak ada yang manis dan diem kayak aku sih?"

"Husshh sembarangan! Kamu manis dan pendiam? Astaga!" Aku menggeleng heran.

Bayi yang sedang aku gendong menggeliat dengan imutnya. Arya mencubit pipi Zelva gemas.

"Moga-moga jadi anak manis kayak ayahnya," ujar Arya lembut pada anak terakhir kami.

Aku rasanya jadi ingin tertawa. Tiba-tiba kami dikagetkan oleh Mbak Aminah selaku ART kami. Dia datang tergopoh-gopoh dengan raut wajah cemas.

"Tuan, Nyonya, ada Non Aria nangis di ruang tamu," lapor sang ART tersebut.

Arya menganga, wajahnya lamgsung panik. Dia melesat pergi menuju dapur untuk secepatnya ingin sampai ke ruang tamu. Aku pelan-pelan membenarkan gendongan Zelvani kemudian berteriak, "Shaira! Arga! Ayo masuk ya! Ibu masuk ke dalam nih."

💙💙💙

Zelvani sudah diasuh oleh Mbak Aminah, aku dan Arya segera menuju ruang tamu di mana asal suara gaduh itu berasal. Suara cewek meraung-raung mengerikan.

SashiWhere stories live. Discover now