Part 32

7.8K 902 56
                                    

"Ar?"

"Iya, kenapa?"

Suara Arya terdengar begitu rendah dan kesannya seksi, entah dia sedang berbisik atau memang sinyal yang jelek sehabis hujan. Low voice namanya. Aku tidak menyalahkan sinyal yang merubah suara Arya menjadi seksi seperti itu.

"Mau izin. Gu-gue mau main, menginap di rumah Lalisa. Nanti jam 5 gue ke sana. Sori, kalo balasnya nanti lama. Jangan telepon juga nanti mereka curiga."

"Hm, rumah Gibran ya berarti," gumamnya. "Oke, tapi jangan lupa balas ya. Hoamsss! Bilang aja dari teman lo gitu. Kalo gue pengen denger suara lo gimana?"

"Iya rumah Gibran." Aku mendengus, tadi aku menyebutnya rumah Lalisa biar kesannya aku ke sana untuk Lalisa bukan Gibran, ternyata Arya kembali fokusnya malah ke Gibran. "Gue dari dulu nggak pernah dekat sama cowok mana pun. Kalo mereka liat gue megang hape dan menerima telepon kayak tadi pasti pada kepo dan nanya. Mereka bahaya, kalo nggak dikasih tahu maksa mencari tahu sendiri. Mau hape gue dibaca rame-rame? Ngeri kan?"

"Hoaaams!" Lagi cowok itu menguap lebar. Pasti tadi dia sedang tidur. "Oke, gue chat aja deh. Jangan lakuin hal yang aneh-aneh ya?"

Aku mendengus. "Nggaklah! Emangnya kita bakal bikini party. Ups, sori, nggak bermaksud. Sori...."

"Nope. Sas, udahan ya, gue ngantuk berat! Hoamsss!"

"Kebo. Ya udah makasih ya, sori ganggu!"

"Muaacchhh!"

💙💙💙

Gibran tidak banyak bicara, berkali-kali aku yang selalu memulai mengajaknya berbicara duluan. Sejak dia tiba di rumahku dia hanya melempar senyuman tipis tanpa berkata apa-apa. Dia menuruhku naik hanya dengan mengendikkan dagunya ke belakang. Dalam perjalanan yang memakan waktu 45 menit karena macet itu dia juga tidak berbicara apa-apa, biasanya cowok itu berceloteh panjang lebar tentang apa pun.

Kenapa sih? Dia marah beneran padaku? Begitu turun dari motornya yang sudah memasuki pelataran garasi rumah tersebut, aku siap ingin mengatakan minta maaf. Dia menoleh sambil melepas helmnya. Aroma tubuh Gibran yang wangi kembali pada parfumnya yang lama.

"Kenapa?" tanyanya begitu menyadari aku baru saja mengendusnya.

"Wanginya yang lama nih."

Inilah kesempatan membuatnya bicara lagi. Dia nyengir. "Lo suka wangi yang ini kan? Makanya gue pakai yang ini lagi." Perkataan Gibran membuatku kikuk, cowok itu memandangiku dengan sorot hangat.

"Oh. Emang sih wangi yang ini. Enak." Balasku sewajarnya. Aku berdeham salah tingkah. "Ehem, Gib, gue minta maaf ya soal Kamis sore kemarin. Gue nyebelin ya? Maaf, ya, maaf." Jika aku sudah menggunakan kata maaf, maka aku bersungguh-sungguh. Dia masih terdiam di sisi motornya, aku takut tidak mendapat respons darinya.

Aku tersentak saat Gibran tiba-tiba memeluk tubuhku. Aku ingin memberontak dengan gerakan yang pastinya kasar, tapi pelukannya begitu erat seakan tidak mau melepaskanku. Maksudnya apaan sih, aku hanya minta maaf kenapa dia memelukku seperti ini? Duh, bagaimana kalau ada yang lihat nanti?

"Sashi, gue suka sama lo dari dulu. Sekarang rasanya makin besar, semakin sayang sama lo," bisiknya tepat di telingaku.

Aku menganga tak percaya. Kenapa aku tidak pernah tahu kalau Gibran suka, apa suka? sayang? Aku merasakan sesak di dadaku semakin bercampur aroma tubuhnya. "Nggak boleh, Gib. Gu-gue..."

"Iya, lo nggak bakal bisa balas perasaan gue. Karena lo cuma nganggep gue teman. Lo nggak perlu balas kalo gitu, cukup lo tau aja. Kali aja suatu saat nanti lo bisa sayang sama gue. Gue nggak memaksa. Cukup lo tau aja," katanya dengan masih memeluk tubuhku.

SashiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora