Part 30

8.9K 964 76
                                    

Aku tidak mungkin bisa menikmati film tersebut, perasaan tidak enak terus ada di hatiku. Aku ingin cepat pulang dan segera tidur, aku lelah. Ternyata perasaan senang saat dulu aku pergi bersama Gibran tidak bisa aku rasakan lagi. Entahlah rasanya berbeda setelah Arya datang, aku lebih bergantung pada cowok itu. Atau, perasaan tidak nyaman ini timbul karena aku berbohong.

Ya, aku berbohong mengatakan sudah ada di rumah dan sedang istirahat. Terlanjur, tadinya aku mau berkata jujur sedang pergi bersama Gibran, tetapi takut. Arya terang-terangan mengatakan selalu cemburu dengan Gibran. Aku takut dia salah paham dan sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi, nanti Gibran merasa curiga kalau misalnya Arya memaki cowok itu karena jalan sama aku.

Aku sedang di posisi terjepit. Usai menonton aku dan Gibran hanya memakan kentang goreng dan softdrinks, aku tidak mood makan dalam keadaan seperti ini. Gelisah. Aku juga tidak banyak berbicara, kecuali Gibran yang bertanya duluan. Sepertinya dia memahami gelagat anehku yang mendadak jadi diam.

"Lo sakit lagi?" tanya cowok itu seakan tahu sebelumnya aku pernah sakit.

"Ah, kelihatan ya?"

"Pucat banget. Pulang aja yuk," ajaknya merapikan tas dan memakainya. Dia membimbingku keluar dari kursi, lagi untuk yang ke sekian kalinya dia memegang tanganku. Aku ingin memberontak tidak mau dipegang, dia menoleh.

"Kenapa sih nggak mau digandeng sekarang?" tanyanya.

Oke, awal mula aku dan dirinya sering bergandeng tangan adalah, aku payah takut sama kendaraan apalagi truk besar saat menyeberang jalan. Kala itu kami menyeberang bertiga, aku hanya memegang tas Gibran agar bisa mengikuti pergerakannya.

Kalau menyeberang jalan besar dilarang labil, maju ya harus maju, jangan mundur lagi. Nanti tertabrak. Dia yang menyadari aku takut jalanan, menarik tanganku dan menggandengku. Jadi, dia menggandeng tanganku dan juga Lalisa. Tidak ada yang salah, Lalisa saja digandeng oleh Gibran, tapi sekarang aku tidak mau digandeng lagi. Kenapa ya? Risih?

"Bukan anak kecil lagi," jawabku sambil tersenyum simpul.

"Lo tetap bocah bagi gue."

"Enak aja!" balasku kesal. Gibran tertawa renyah, ponsel di saku rokku bergetar, aku menarik tanganku dari Gibran dan membuka isi pesan yang masuk. Pesan dari Arya.

Lo ke mana? Gue d rumah lo skrg. Kta mbak Sur, lo blm plang.

Aku menutupi layar ponsel agar tidak diintip oleh si kepo Gibran, aku menggigit bibir panik, otakku terus aku paksa memutarkan ide-ide atau alasan yang bisa aku buat. Tadi aku mengatakan sudah pulang dan istirahat, jika sekarang aku pulang masih berseragam pasti akan membuatnya curiga. 

Arghhh!

Gue jelasin nanti di rmah. Lo gak jadi nge-band? Maaf ya.

Aku menunggu balasan Arya dengan panik, mengabaikan Gibran yang menunggu dengan raut wajah kepo.

Gue pergi dlu, nnti mlam k rmah lo lg.

Marah? Sudah pasti cowok itu marah, jangan dipertanyakan lagi Sashi! Aku merutuki kebodohanku sendiri, aku memejamkan mata menahan agar moodku tidak berantakan. Aku berjalan melalui Gibran, "yuk pulang!"

💙💙💙

Malam sekitar jam 7 bel di pagarku berbunyi, aku membuka pintu pagar di sana sudah ada sosok Arya yang sudah ganti baju menjadi baju kasual. Kaus dan jaket, sebuah tasnya menempel di punggung. Dari wanginya cowok itu pasti sudah mandi dan segar bugar.

"Ar." Aku menatap cowok itu dengan raut bersalah. Dia menerobos masuk tidak menatap wajahku.

Aku menutup gerbang dan mengekori Arya yang berjalan masuk meninggalkanku di belakang. Aku menggigit bibir melihat cowok itu tak mengacuhkanku, tidak seperti Arya yang biasanya banyak omong.

SashiWhere stories live. Discover now