3rd Wound

1.7K 108 117
                                    

Vote yah🌹✨

Ini sudah yang kesekian kali Kiya celingukan ke sana kemari sambil meremas kuat rok abu-abunya dengan kedua tangan. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu panik.

Cewek itu lalu menepuk-nepuk jidatnya, kesal. “Duhh, kampret sekampret-kampretnya!”

“Mau beli di mana coba? Koperasi udah tutup, anak-anak juga udah pada pulang. Apes banget, sih!”

“Kamu pasti nyari ini, kan?”

Kiya seketika terkesiap melihat Prana yang tiba-tiba muncul dari arah lorong toilet. Cowok itu terlihat bersandar pada tembok sambil menghadap ke arahnya.

Cewek itu lantas berdecak. “Kok bisa sampai sini? Kamu mata-matain aku?!”

Tanpa menanggapi pertanyaan yang diajukan Kiya, Prana berjalan mendekatinya lalu menyodorkan sebiji menstrual pad dari tangannya itu kepada Kiya.

Akan tetapi, Kiya justru mendorong balik menstrual pad itu. “Gak usah kalau niatnya cuma buat ngebujuk. Tahu gak aku masih kesel sama sikap kamu yang cuma diem aja di kantin tadi?”

Prana mendengus karena risih mendengar ocehannya. Sampai kapan cewek ini akan terus memelihara bakat cerewetnya?

“Bisa gak sekali aja ngertiin orang-orang di sekitar kamu─”

Kalimat Kiya terpotong begitu saja oleh tindakan Prana yang mengambil tangannya lalu menaruh sebiji menstrual pad itu di atasnya.

“Bukannya aku perhatian sama kamu, aku cuma kasihan aja lihat kamu kayak anak hilang tadi.”

Sekali lagi Kiya berdecak, sementara Prana yang sudah kepalang geregetan akhirnya berinisiatif menuntun tubuh Kiya masuk ke dalam toilet supaya cewek itu tidak lagi membuang waktunya.

“Aku gak mau tanggung jawab kalau sampai bocor,” ancamnya membuat Kiya akhirnya mengalah, dengan tenang dirinya masuk ke dalam toilet lalu menutup pintunya.

“Aku tunggu di sini, jangan kelamaan!” imbuhnya dengan sedikit berteriak sambil mundur lalu menyandarkan punggungnya kembali pada tembok.

Beruntung, area toilet perempuan itu sedang sepi karena memang sudah jamnya pulang, jadi tidak akan ada yang berpikiran macam-macam tentang mereka nanti.

Tak lama dari itu, Kiya yang sudah selesai dengan urusannya keluar dari bilik toilet, namun entah mengapa wajahnya mendadak terlihat masam dan pucat.

“Udah?” tanya Prana memastikan.

Bukannya menjawab, Kiya justru menunjukkan gelagat aneh dengan menggigit bibir bawahnya. Kemungkinan besar ia kini sedang menahan rasa nyeri yang kian menjalar pada perutnya.

Prana mengerutkan kedua alisnya. Khawatir?

“Kenapa?”

“Dismenorea?” tebaknya yang langsung dibalas dengan sebuah anggukan kepala oleh Kiya.

Prana lantas mengambil tas Kiya dan meletakkannya di depan badannya sebelum akhirnya sedikit berjongkok di hadapan cewek itu.

“Jangan deh, aku berat loh,” ujar Kiya merasa segan. Apalagi, Prana ini, kan baru selesai classmeeting tadi pagi.

Tidak mungkin juga kalau ia harus menggendong badannya yang tentu tidak ringan. Kiya takut cowok itu akan kelelahan nanti.

“Naik sebelum aku berubah pikirian.” Ya, begitulah Prana, orangnya memang suka sedikit memaksa. Jangan kaget ya!

Kiya menghela napas pasrah sebelum akhirnya menurut. Kalau ditolak, bisa buntut perkara sepele ini nanti. Terlebih, Prana itu orangnya tidak bisa ditebak, selalu tiba-tiba dan abstrak.

Favorite WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang