16th Wound

122 14 4
                                    

Vote dulu boleh?
Makasih banyakk 🧡

Selamat menikmati part ini

Satu pukulan keras berhasil mengenai kepala Pranaga, darah segar pun perlahan menetes dari lubang telinganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu pukulan keras berhasil mengenai kepala Pranaga, darah segar pun perlahan menetes dari lubang telinganya.

Sekiranya itulah asupan yang diterima Prana sepulang sekolah hari ini.

“KAMU LEBIH PILIH SEORANG JALANG DIBANDING ADIK KAMU SENDIRI HAH?!” bentak Gama penuh amarah.

Prana yang tadi tersungkur di lantai kini perlahan mendudukkan diri. “Kiya bukan jalang, Yah!” tegasnya.

Pria itu menggelengkan kepalanya. “Berani kamu bentak Ayah cuma buat belain sampah gak guna itu, Prana?!”

“Sewaktu Ayah nginep di rumah Nenek kamu kemarin, ke mana aja kamu gak ngurusin adik kamu yang sakit?! Kamu malah sibuk sama pacar kamu yang gak guna itu, kan?!”

Dea yang sedari tadi melihat pertengkaran hebat itu hanya berdiri sambil menyunggingkan senyum jahatnya di sudut ruangan sana.

Mata sayu Prana melirik tajam ke arah Dea, ia tak habis pikir adik angkatnya itu ternyata pintar sekali cari muka di hadapan ayahnya.

“Ayah gak akan pernah ngerti yang sebenernya kalau Ayah aja gak pernah mau denger dan percaya sama Prana,” ujar Prana pilu.

Bulir air mata yang tadi menggenang di pelupuk matanya kini akhirnya berjatuhan membasahi kedua pipi.

Gama mendengus geli. “Ngapain kamu nangis? Sejak kapan Ayah didik kamu jadi laki-laki cengeng?”

Prana menggeleng pelan. “Kenapa nggak Ayah aja yang belajar buat ngertiin perasaan anaknya?”

Kepala cowok itu tertoleh ke samping begitu mendapat tamparan keras dari ayahnya.

“MAU NGATUR-NGATUR AYAH KAMU SEKARANG, HAH?!”

Prana lalu menghapus kasar darah di sudut bibirnya sebelum akhirnya ia berusaha berdiri dengan sisa tenaganya.

“Selama ini Prana capek, Yah!”

“Kenapa Ayah gak pernah mau ngertiin Prana? Prana juga pengen teriak sekencang mungkin kalau Prana sangat tertekan,” bisiknya terdengar begitu menyayat hati.

Luka dan trauma yang selama ini ia dapatkan dari ayahnya itu hampir membuatnya seperti orang kehilangan akal.

“Kenapa? Kiya yang udah bikin kamu kayak gini? Dia yang bikin kamu berani membantah dan membentak Ayah?!” todong Gama dengan mata memelotot tajam.

Wajah pria itu terlihat merah padam karena emosi yang semakin menggebu.

Prana mencoba mengendalikan dirinya.

“Gak usah seret Kiya dalam masalah ini, Yah, harusnya Ayah yang bisa introspeksi diri.”

“Ayah gak sadar kalau selama ini Ayah selalu bersikap tempramental dan berhati batu?”

Favorite WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang