8th Wound

1.1K 66 78
                                    

Vote yaa, Candies─🌹

Saat semua murid sibuk mencari cara supaya tidak ketiduran sepanjang jam pelajaran Sejarah, Bagas justru terlihat asyik mengoleksi upil di bawah bangkunya sana.

“Bagas anjir, upil lo ke mana-mana!” sungut Harsa sambil memasang raut wajah jijiknya.

Kebetulan letak bangkunya dan Kiya berada di sebelah deret cowok itu.

Bagas menatap Harsa dengan alis naik sebelah, tangannya lalu terulur ke arah cewek itu.

“Kau mau?” Dengan entengnya ia mengucapkan kalimat tersebut.

Harsa segera meronta-ronta seperti cacing kepanasan. “Ihh, pentil sapiii! Usil banget sih, lo!”

Setengah senti lagi harta karun Bagas nyaris menempel pada seragam Harsa, dirinya kini terlihat benar-benar tersiksa.

“JAUH-JAUH TANGAN LO KAMPREET!”

BRAK!

Gebrakan meja guru yang terdengar keras itu sontak membuat keributan keduanya terhenti, murid lain yang tadi mengantuk pun langsung segar kembali matanya.

Dengan muka merah padam Broto menghampiri bangku kedua muridnya itu.

“Yang tidak bisa serius di kelas saya, silakan keluar!” usirnya langsung.

“Lah, kalau saya seriusin Pak Broto, nanti dikira homo dong, emangnya Bapak mau?” Mulut licin Bagas itu membuat seisi kelas riuh menyorakinya.

Plak! Gamparan buku Sejarah supertebal yang berhasil mengenai kepala Bagas itu segera membuatnya terdiam.

“Kenapa ribut-ribut tadi?! Kalian tidak mau memperhatikan pelajaran saya?!”

Harsa dan Bagas sama-sama bungkam tak bersuara.

“HARSA, BAGAS!” bentak Broto sekali lagi.

Pergerakan tangan Bagas membuat pria itu segera menurunkan kacamatanya─curiga.

“Bapak mau upil saya? Masih fresh.” Bagas memang hobi mencari masalah dengan guru killer-nya itu.

Spidol di tangan Broto nyaris melayang ke arah Bagas, namun suara dengkuran yang keluar dari mulut Kiya membuat perhatiannya seketika teralihkan.

Harsa yang menyadari arah pandangan Broto segera menyenggol lengan Kiya. “Sstt, Kiya, bangun!”

Akh!” Kiya bisa merasakan sesuatu yang keras mengenai dahinya.

Dengan nyawa yang masih belum terkumpul sempurna, Sakiya perlahan bangun lalu duduk dengan benar.

Broto memelototi Kiya sambil berkacak pinggang. “Enak ya ngorok di kelas saya?! Keluar kamu kalau tidak mau memperhatikan saya!”

Kiya menghela napas panjang. “Iya, Pak, maaf,” ucapnya samar.

Ia akhirnya bangkit lalu berjalan ke luar kelas, namun Broto sudah lebih dulu menahan lengannya dan menampar pipinya begitu saja.

Tepat pada bekas luka yang belum mengering sempurna itu, Kiya mengusapnya kasar, dapat dipastikan kalau rasanya sangat sakit.

“Memang lebih baik saya keluar daripada harus berhadapan sama orang kasar seperti Bapak,” cetus Kiya lalu pergi begitu saja.

Salah satu murid di ujung sana mengangkat satu tangannya. “Saya juga izin keluar, Pak, takut kena tampar Bapak lagi seperti kemarin.”

“Saya juga.”

Favorite WoundWhere stories live. Discover now