PROLOG

1.3K 207 89
                                    

Seorang gadis delapan tahun memandang senja dari balik selapis kaca yang membias cahaya lampu-lampu jalan. Kendaraan yang membawanya dikemudikan lelaki pirang berpenampilan rapi dalam balutan seragam biru. Wajah si sopir sama sekali tak ramah, tak juga menyeramkan, tampak tak peduli sekitar. Sopir tersebut menyetel lagu berbahasa Prancis dengan tempo cepat diiringi nada drum keras—tak acuh kemuraman wajah dua penumpangnya.

Si gadis menoleh sesaat ketika merasakan nyeri pada jemarinya yang diremas sang ibu. Namun, ia kembali berpaling ke jendela begitu melihat mata sang ibu basah. Ibunya juga tak ingin ada di sini. Akan tetapi, si gadis bosan merengek atau menangis. Sejak berjam-jam lalu meninggalkan rumah, berulang kali ia mengungkapkan keinginannya untuk tak pergi. Tak ada yang akan berubah.

Namun, saat mendengar sang ibu membersit hidung, mata si gadis kembali basah. Bersamaan dengan itu, kendaraan berisik yang ia tumpangi menepi. Sekehendak ibunya ia menurut ketika diminta turun. Sebuah rumah besar dengan pagar kokoh berdiri di depannya. Kata ibunya itu rumah sang nenek. Baginya lebih mirip istana penyihir.

Sementara ibunya sibuk menurunkan koper, si gadis meneliti sekitar, menebak kira-kira jalan mana yang harus ia ambil jika sewaktu-waktu ingin lari dari tempat itu. Hanya terbentang satu jalan panjang membelah rumah neneknya. Di sepanjang jalan tersebut berdiri rumah-rumah yang sama suram.Matanya berkabut lagi. Ia takut dan ingin pulang. Akan tetapi, genggaman tangan sang ibu kemudian memaksanya mendekat ke pagar.

"Kau harus baik pada Grand-mère. Beliau pasti rindu sekali pada kita." Ibunya bergumam dan tersenyum tipis sembari memijit bel. Dalam pijitan kedua, seorang wanita berperawakan gemuk dengan celemek hitam membungkus tubuh muncul. Dengan sangat ramah, si gadis dan ibunya diantar masuk menemui nenek yang menunggu di ruang tengah.

Neneknya masih sehat walaupun sudah tua. Setelah memeluk erat si gadis, sang nenek mengajak makan sambil bercerita banyak hal. Selama ini, si gadis hanya mengenal suara neneknya dari pesawat telepon. Suara ceria sang nenek mengingatkan pada ayahnya dan tanpa dapat dicegah matanya basah lagi. Nenek memeluknya. Wanita gemuk yang tadi muncul lagi. Ibu menggandengnya mengikuti wanita itu naik ke lantai atas, membuka sebuah pintu kokoh yang letaknya di ujung dan menuntunnya masuk sambil menyeret koper.

"Sekarang ini kamarmu." Ibunya berkata datar.

Si gadis mengamati ruangan yang terlalu luas untuk disebut kamar itu. Ukurannya tiga kali lebih besar dari kamarnya dulu. Dindingnya dilapis dengan wallpaper bunga-bunga kecil warna merah jambu. Ranjang besarnya berseprai putih, senada dengan warna tirai yang menutupi jendelanya yang luas.

Ibu menariknya ke depan lemari pakaian, tanpa aba-aba menyibak pintunya. Dia hanya mengerjap polos melihat ratusan pakaian berderet di hadapannya.

"Mulai sekarang, semua pakaian ini milikmu," papar sang ibu. "Cantik, bukan?"

Selama ini, si gadis sudah kenyang memakai pakaian bagus. Dia tak ingin pakaian, hanya ingin pulang.

Tanpa peduli ekspresi tertekannya, sang ibu kemudian mendudukkannya di hadapan meja kayu luas di mana terhampar kertas-kertas putih, pensil-pensil yang terserut runcing, serta tumpukan gambar-gambar pakaian—seperti yang sering dilihatnya di meja kerja sang ibu.

Ibu meremas bahunya, kemudian berbisik lembut, "Sekarang, mulailah menggambar, Sayang."

Dia mengerjap, memandang ibunya dengan matanya yang basah. "Eomma tahu aku tak bisa menggambar."

"Kau harus mencoba." Ibunya meraih sebatang pensil, menggenggamkan benda itu di jemari mungilnya. "Eomma akan mengajarimu sampai bisa."

Secepat mungkin si gadis menarik tangannya. Jelas menunjukkan penolakan dan justru memandang dengan sorot memohon. "Eomma, aku tak mau menggambar. Aku tak bisa. Apa di sini tak ada piano?"

"Lupakan piano, Yeon—" Ibunya menggeleng keras. "Ah, dan ya ... mulai sekarang namamu bukan itu lagi."

Si gadis berkedip-kedip. Mengabaikan perkataan membingungkan sang ibu. "Eomma, kapan kita pulang? Aku ingin pulang saja. Aku ingin main piano. Aku ingin bertemu Appa. Tak mau menggambar!"

Suara Ibunya mengeras. "Kita akan tinggal di sini mulai sekarang bersama Grand-mère. Lupakan piano! Lupakan Appa-mu! Di rumah ini tak ada piano atau Appa! Kita harus hidup, Sayang. Jika kau sayang pada Eomma, lupakan semuanya, kita akan bahagia di sini. Kau akan jadi orang hebat tanpa piano atau Appa-mu. Percaya pada Eomma!"

Si gadis ingin menangis, tetapi menahannya demi bertanya, "Kenapa? Baiklah, aku tak akan merengek minta mengunjungi makam Appa. Aku tahu kita jauh sekali dari rumah. Tapi, Eomma," kedua tangannya tertangkup ke depan. "Bisakah kita membeli piano baru? Tak apa jika aku tak pakai pianoku yang lama. Kita beli baru saja. Boleh, kan?"

Permohonan itu tak memberinya kelonggaran dan justru membuat wajah ibunya merah padam. "Dengarkan Eomma, Sayang." Suara ibunya kembali terkendali. "Paris kota yang indah, lebih indah dari Seoul. Kau akan suka tinggal di sini. Ada Grand-mère juga Charlotte. Mereka akan menjagamu dengan baik selagi Eomma bekerja. Kau tak akan kesepian lagi."

Si gadis mulai terisak.

Tangan ibunya terangkat menghapus air mata di pipinya. "Eomma mohon jangan menangis, jangan memikirkan apa pun lagi. Kita akan memulai hidup baru dan bahagia di sini. Berhenti bermain piano itu tak sulit. Kita akan baik-baik saja dan lebih bahagia. Eomma janji."

Ibunya tak pernah sadar bahwa mengambil alunan piano dari hidup si gadis sama seperti mengubur jiwanya hidup-hidup, kemudian membangkitkan kembali jiwa yang berbeda.

Dia—gadis kecil itu, tak akan pernah sama lagi.

***

Vocabulary :

Grand-mere : Nenek (Bahasa Prancis)

Eomma : Ibu (Bahasa Korea)

Appa : Ayah (Bahasa Korea)

A/N :

Hai-hai, jangan lupa masukin ke library kalo suka cerita ini yaa. Biar nggak ketinggalan update-annya! Tap rekomendasi juga yang baik hati dan tidak sombong biar cerita ini cepet pemes. Wkwkwk.

Yang mau keep touch sama aku, boleh follow instagram aku chitradyaries.

Unamenya sama kayak wattpad kok.

See ya di next chap. ^^

PariseouloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang