2. Alunan Kematian

517 73 6
                                    

Kisah ini merupakan alasan dari segala kewaspadaan tak berujung. Mungkin beberapa orang saja yang pernah mendengarnya. Belasan tahun lalu, di negeri ginseng sana pernah ada sebuah rumah yang setiap harinya senantiasa diisi iringan melodi lembut. Sering bunyi denting piano, kadang alunan biola.

Rumah tersebut tak istimewa dibanding rumah-rumah di sekitarnya. Satu-satunya hal yang membuat rumah tersebut terlihat apik adalah pekarangannya yang hijau, luas dan terawat. Halamannya dipagari cukup tinggi dengan tujuan meminimalisir gangguan dari luar. Wajar, pemiliknya musisi terkenal yang juga beristrikan seorang wanita cantik berkebangsaan Prancis—seorang desainer.

Dari pernikahannya, mereka dikaruniai seorang putri yang memiliki kecantikan unik, campuran antara kecantikan Timur dan Barat. Hal itu membuat wajah putri mereka tak mudah dilupakan.

Putri mereka hidup bak putri kerajaan sungguhan. Dia baru berusia delapan tahun tetapi namanya sudah terkenal seantero Korea. Kang Yeon Hee, gadis kecil yang anggun dan menggemaskan itu kerap tampil di konser Kang Sung Joon—ayahnya, membawakan satu-dua lagu diiringi piano yang dimainkannya sendiri. Kadang pula ia tampil sebagai salah satu peraga busana dalam pagelaran busana rancangan Selene Grey—ibunya.

Meski penampilannya sangat dinantikan publik, paparazzi lebih sering menemukan gadis kecil itu menikmati waktu bermain layaknya anak seusianya, tampil ceria dalam balutan busana-busana cantik rancangan sang ibu. Gadis kecil yang beruntung. Ayah dan ibunya tak pernah memaksanya untuk tampil di acara apa pun kecuali memang Yeon Hee yang menginginkannya. Keberuntungannya bukan hanya itu. Jika orang lain berpikir memiliki orangtua terkenal sama artinya kekurangan perhatian, Kang Yeon Hee berbeda. Dia hidup penuh perhatian dari kedua orangtuanya juga dari orang-orang di sekitarnya.

Kedua orangtuanya tak memaksa putrinya untuk melakoni peran tertentu untuk mengikuti jejak orangtuanya di dunia musik atau fashion. Namun, mungkin memang benar jika bakat bisa ditularkan melalui kebiasaan. Yeon Hee berbakat dalam musik sekaligus menjadi trendsetter busana. Soal musik, gadis kecil itu memang sudah sangat menyukainya dan memang dididik sesuai kegemarannya itu. Maka, dia terjun ke dalam dunia ayahnya dengan dukungan penuh.

Hari itu seperti biasanya selepas senja, sang ayah menyetel musik-musik buatannya. Kebanyakan lagu baru yang belum pernah diperdengarkan di muka umum. Sering pula hanya berupa instrumental hasil rekaman permainan pianonya.

Musim gugur baru beberapa hari menemani, angin cukup dingin di luar. Kang Yeon Hee belum lama pulang dari latihan piano di studio musik. Setelah makan malam, ayahnya mengantarnya ke kamar sebelum kembali ke ruang kerjanya. Karena belum mengantuk, Yeon Hee membuka catatan pelajarannya hari ini.

Ibunya masih belum pulang, dan ayahnya pasti sudah kembali bekerja. Dari kamarnya, alunan lembut instrumental terdengar jelas karena pemutar musik ada di ruang duduk depan kamarnya.

Belum habis nada itu mengalun, mendadak gadis kecil itu tersentak. Ia mengerjap cepat membiasakan matanya dalam gelap karena lampu kamarnya padam. Musik masih mengalun. Karena sangat gelap, pelan-pelan ia bangkit dari kursi belajar dan meraba untuk menemukan jendela, setelahnya menyibak tirainya lebar-lebar supaya cahaya dari luar masuk menerangi kamarnya. Ah, ternyata bukan hanya lampu kamarnya yang padam, melainkan seluruh lampu di rumahnya. Jika listrik padam, mengapa musiknya tidak mati? Namun, gadis kecil itu tak berpikir sampai di sana. Dibantu penerangan langit malam, gadis itu meraih bolpen kecil dengan ujung lampu yang langsung ia nyalakan untuk memperoleh penerangan lebih banyak.

"Ayah!" serunya sambil melangkah ke pintu. "Apa Ayah yang mematikan lampu?"

Tak ada jawaban. Tangan mungilnya baru menyentuh gagang pintu, ketika mendadak terdengar suara letusan. Gerakannya terhenti dan sekejap kemudian ia segera menjauh dari pintu. Ia menunggu, cemas. Barangkali itu ayahnya yang sedang melakukan sesuatu, atau mungkin salah satu musik terbaru. Namun, mengapa hanya untuk memperdengarkan musik lampu harus dimatikan? Dan mengapa pula suara letusan itu terdengar berbahaya?

Yeon Hee tak mendengar apa-apa lagi karena suara musik masih mendominasi pendengarannya. Sampai kemudian, musik yang mengalun mendadak berhenti dan ia dapat mendengar suara langkah kaki perlahan berjalan di ruang duduk depan kamarnya.

Gadis kecil itu melangkah mundur. Darahnya berdesir. Mungkin Tuhan memiliki rencana lain. Karena itu, dibimbingnya gadis kecil itu menjauhi pintu oleh satu pemikiran yang datang tiba-tiba: yang datang bukan ayahnya.

Dalam kebingungan yang kental, Yeon Hee bergerak cepat sementara langkah kaki di luar terdengar makin dekat di luar kamar. Dia tak tahu mengapa dengan sigapnya menentukan lemari pakaiannya sebagai tempat bersembunyi. Tanpa suara ia masuk, duduk memeluk lutut, mematikan bolpen berlampunya, sambil mengawasi lewat celah lemari.

Ia mendengar suara pintu kamarnya berayun terbuka dan seseorang melangkah masuk ke kamarnya. Dalam hati, gadis itu berharap orang yang datang adalah ayahnya agar dia tak perlu lagi merasa takut begini. Atau setidaknya, ia berharap yang datang orang yang ia kenal.

Akan tetapi, langkah orang yang datang pelan dan berat—tak dikenalnya. Yeon Hee menajamkan penglihatan. Keremangan kamar yang diterpa cahaya bulan dari luar jendela memerlihatkan tubuh besar seorang pria berpakaian serba hitam. Di tangan pria itu tergenggam sebuah benda hitam yang tampak mengancam dan berbahaya. Yeon Hee pernah melihat benda itu di film-film. Pistol. Ji Hoon—sahabatnya juga pernah membawa benda seperti itu dan bisa mengeluarkan air, sangat menyenangkan ketika memainkannya. Entah mengapa, kali ini Yeon Hee merasa benda itu tak menyenangkan meski bentuknya persis milik Ji Hoon.

Ketika pria itu berbalik hendak pergi, Yeon Hee memejamkan mata sejenak karena sebuah benda biru di leher pria tersebut seakan memantulkan cahaya bulan, berkilauan, membuatnya takut persembunyiannya terbongkar.

Hingga akhirnya pria itu pergi, Yeon Hee masih bersembunyi ditemani sunyi. Dalam hati ia berharap sang ayah mencarinya. Ia tak berani keluar. Memilih menunggu sampai akhirnya lelah dan tertidur. Ketika ia membuka mata beberapa jam kemudian, ia terbangun di ranjangnya. Apa yang tadi itu cuma mimpi?

Dari jendela kamarnya, ia melihat flash dari puluhan kamera milik orang-orang yang berdesakkan di halaman depan rumah, membikinnya mengeryit bingung. Karena teringat ayahnya, Yeon Hee segera keluar kamar. Lampu di rumahnya sudah menyala semua. Banyak orang berkumpul di lantai bawah. Ada ibunya, pamannya, Ji Hoon bersama ayah dan ibunya juga datang. Mereka semua berkumpul di ruang tamu.

Yeon Hee heran. Kenapa ibunya menangis dan orang-orang tampak sedih? Baru setengah jalan menuruni tangga, tiba-tiba Ji Hoon yang mulanya duduk di kursi ruang tamu langsung berlari mendekatinya. Yeon Hee mengerjap bingung melihat wajah basah sahabatnya. Akan tetapi, Ji Hoon tak mengatakan apa-apa, langsung memeluknya, dan menangis lebih keras.

***

Maaf semalam nggak jadi update. Hari ini aku update 2 chapter. Sampai ketemu nanti sore atau malam yaa...

PariseouloveWhere stories live. Discover now