17. Ancaman Bahaya

367 47 15
                                    

Thanks for read, vote and comment. ^^

Aroma teh chamomile memanjakan indera penciuman. Kesadaran Narsha perlahan menebal. Awalnya ia merasakan pening hebat mendera kepalanya. Kemudian tubuhnya terasa lemas dan sulit digerakkan.

Terakhir, ia merasa menggigil kedinginan. Namun, sebuah suara justru mengatakan sebaliknya. “Suhu tubuhmu tinggi sekali.”

Suara itu Narsha kenal milik Carrisa. Ia mengerutkan dahi sejenak sambil pelan-pelan membuka mata dan mendapati Carrisa sedang memandangnya dengan raut wajah cemas.

“Kau demam tinggi, Narsha,” gumam asistennya. “Cepat bangun! Kita harus ke rumah sakit. Ini pasti karena kau hujan-hujanan semalam dalam keadaan tubuh lemah.”

Hujan. Satu kata itu membangkitkan kesadaran Narsha. Ia membuka mata lebar-lebar, bangkit duduk dan segera sadar kini dirinya ada di kamar apartemennya. “Kenapa aku bisa ada di sini?” tanyanya seraya berpaling pada Carrisa.

“Ini apartemenmu,” sahut Carrisa heran. “Pertanyaan macam apa itu? Kau ingat apa yang terjadi semalam, kan? Pagi ini aku datang untuk menengokmu. Kau meninggalkanku di Eiffel semalam. Kau yang berulah membuat orang hujan-hujanan, tapi justru kau yang sakit.”

Carrisa menyerahkan secangkir teh chamomile yang sejak tadi wanginya memanjakan penciuman. “Aku mendaftar second code untuk akses pintu apartemenmu. Itu memudahkan kalau saja ada sesuatu. Supaya aku tak perlu ribut-ribut membunyikan bel setiap kali datang ke sini.”

Ucapan Carrisa menjawab mengapa gadis itu bisa masuk ke sini padahal Narsha tak membukakan pintu. Namun Narsha tak peduli. Ia memilih menyeruput tehnya sampai habis.

“Aku tahu kau tak ingat kapan terakhir kali kaumakan,” Carrisa mantap menyodorkan mangkuk sup.

Narsha menerimanya tanpa protes. Memang, ia bahkan lupa sekarang hari apa dan tak tahu kapan terakhir mandi. Itu tak penting. Ingatan lain menyeruak masuk ke sel-sel otaknya, cepat, membuat mangkuk di tangannya hampir terjatuh.

“Hati-hati,” Carrisa memperingati sambil membantu menopang mangkuk itu. “Pegang sebentar. Akan kuambilkan meja.”

Tak lama asistennya itu datang dengan meja kecil. Diletakkan mangkuk itu di atasnya dan ia memandang Narsha dengan heran. “Aku sungguh penasaran akan banyak hal, Narsha. Ada sesuatu kan, setelah kau pergi bersama Seo Joo semalam?”

Choi Seo Joo. Pistol. Narsha melebarkan mata memandang Carrisa. “Di mana Choi Seo Joo?”

Carrisa bingung. “Justru itu yang membuatku penasaran. Ke mana kau dan Seo Joo semalam?”

Narsha memejamkan mata, berusaha menenangkan diri.

Pria itu tahu. Pasti. Satu keyakinan itu membuatnya lebih tenang.

Itu sebabnya Seo Joo mengarahkan pistol itu ke pelipisnya sendiri.

“Ada apa, Narsha?” suara Carrisa terdengar khawatir dan penasaran. “Apa yang terjadi semalam?”

“Tak ada apa-apa,” sahut Narsha sambil menormalkan air wajahnya. Ia meraih sendok sup dan kembali makan. Setelah menelan beberap suap, ia menegakkan wajah dan berkata, “Tolong hubungi pihak agensi Choi Seo Joo. Katakan aku perlu bertemu dengan pria itu segera. Jika mereka menolak, katakan kita akan membongkar kebohongan yang mereka sebarkan.”

Carrisa memilih tak protes. “Baiklah. Tapi sebelum itu, sekarang kita perlu ke dokter.” Asistennya bangkit, berjalan ke lemari pakaian. “Aku tak yakin kau mampu melawan mereka dengan tubuhmu yang sekarang.”

PariseouloveWhere stories live. Discover now