20. Sandiwara Dua Pihak

186 19 14
                                    

Song: Falling in Love by Davichi

Gravitation is not responsible for people falling in love.

~Albert Einstein

¤¤¤

SEPANJANG Narsha mengenal kilatan kamera, baru kali ini ia merasa gugup. Anehnya, tak hadir benci seperti yang selama ini ibunya ajarkan tiap bersemuka awak media. Lampu sorot dari sudut diagonal panggung tepat membidik meja panjang di mana dirinya duduk sambil menautkan telapak tangan di pangkuan. Menjentikkan kuku-kukunya seolah ingin menanggalkan cat merah terang yang beberapa jam lalu dioleskan Carrisa di sana. Gadis itu bilang, merah memberi keberanian. Tentu saja Narsha tersinggung. Mustahil nyalinya diciutkan kamera. Sekarang, ia mengakui, terkadang tak mengenal diri sebaik dugaannya. Atau, terkadang terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang diri sendiri tanpa tahu yang diucap mulut sebenarnya sama sekali tak berdasar.

“Lihat dan jalani saja. Kau akan tahu seberapa mampu dirimu mengatasinya.” Carrisa Rochelle membayang pesan menyebalkan itu dari mata biru pudarnya. Menampilkan senyum profesional sambil tangannya menghentikan aksi brutal kuku Narsha di bawah meja. Asistennya berbisik sambil tersenyum, keahlian yang menurut Narsha mirip seringai pura-pura aktor televisi. “Tersenyumlah! Atau, setidaknya jangan terus-terusan melihat ke bawah. Mereka akan berpikir kau main ponsel atau semacamnya.”

Narsha menahan diri untuk tidak mengumpat. Peringatan kurang ajar macam itu memang hanya pantas dibalas umpatan--yang bahkan tak mungkin dilancarkan. Demi Tuhan, kamera menatapnya! Dunia menatapnya! Ia segera melupakan ocehan Carrisa karena sungguh, kenyataan bahwa dirinya direkam menimbulkan perasaan serupa ditodong pistol.  Sempurna membuat kepalanya berdenyut. Bahkan menenggak segalon bir menimbulkan efek yang jauh lebih baik dari ini.

“Kau berjanji tak menimbulkan masalah,” Carrisa berbisik lagi di telinga kiri. “Senyumlah! Kau akan tampak sempurna jika menambahkan senyum di penampilanmu.”

Warna hitam memang sempurna untuknya. Ditambah satu detail: gaun malam. Dilengkapi: tanpa lengan. Dihiasi: kemilau perhiasan perak. Narsha sudah sempurna. Ia tak butuh senyum. Dibalasnya peringatan Carrisa dengan pelototan tajam. Asistennya itu menyerah, kembali sibuk melingkari entah apa di buku agendanya.

Suara dehaman dari sisi kanan menarik Narsha kembali ke fokus utama. Ia bahkan tak ingin repot-repot menoleh ke arah itu: Choi Seo Joo dan pria di sampingnya lagi: seorang Prancis dengan mata berbinar aneh yang diakui Seo Joo sebagai pengacara darurat yang disewa agensinya.

Narsha hanya ingin konferensi ini cepat berakhir dan segera menyingkir dari serbuan blitz. Ia baru hendak memasang tampang wajar ketika merasakan seseorang menyergap tangan kanannya di bawah meja. Berkerut kening. Tak mungkin Carrisa lagi. Asistennya ada di sebelah kiri. Ia menoleh ke kanan. Seo Joo membalasnya dengan senyum yang tampak seperti peringatan dimulainya sandiwara. Cekalan pria itu seperti batu. Tanpa menunggu persetujuan, genggaman kokoh itu membimbing tangan Narsha ke atas meja--lebih tepatnya ke depan kamera yang langsung memangsa seperti anak-anak ayam kelaparan.

Menit pertama, Narsha bahkan tak bisa mendengar apa yang otaknya pikirkan karena pertanyaan menyerbu telinga tanpa jeda. Jika suara bisa ditumpuk maka beginilah kedengarannya. Kepalanya terasa akan meledak. Jadi ia hanya diam. Menatap Seo Joo tanpa ekspresi. Dan pria itu dengan santainya menimang tangan yang dirampoknya dengan senyum bangga.

Si pengacara darurat mencoba menenangkan situasi. Seo Joo mengambil alih, pembawaannya tenang, menguatkan dugaan Narsha bahwa pria itu memang sudah sering berbohong. Ah, ia baru ingat, Carrisa sempat bercerita panjang lebar, satu informasi yang Narsha ingat: selain penyanyi, pria itu juga aktor berbakat yang mengantongi beberapa penghargaan dalam negeri.

“Kami mengundang teman-teman media ke sini untuk mengonfirmasi berita yang belakangan ini beredar,” Seo Joo bicara dalam bahasa Korea.

Telinga Narsha panas. Ia membuang pandang. Tak menemukan arah yang menyenangkan. Melarikan mata ke permukaan meja.

“Tentang foto yang mengindikasikan adanya hubungan antara saya dan Narsha Francois, sepenuhnya benar.” Seo Joo mengeratkan genggaman tangannya. Lalu kebohongan itu meluncur tanpa kerikil, “Kami sedang berpacaran. Saya mencintai Narsha. Saya harap semua penggemar menghargai dan mendukung keputusan saya ini. Maaf telah membuat kalian khawatir.”

Para wartawan media Korea seketika riuh. Seorang wanita bertubuh sintal pendek di sisi depan panggung menerjemahkan ucapan Seo Joo ke bahasa Prancis. Lengkaplah, bagai rentetan peluru, pertanyaan-pertanyaan dilontarkan dalam dua bahasa.

Seo Joo tak acuh menundukkan kepala hingga dahinya hampir menyentuh meja. Narsha mengimbangi hanya agar sandiwara ini tak tampak bodoh, sedikit menunduk, terpaku khidmat menghadapi serbuan kamera. Pelan-pelan bangkit ketika Seo Joo juga bangkit. Sesuai perjanjian, tak memberi keterangan apa-apa.

Awak media merangsek dalam gerakan lambat namun pasti. Pria-pria kekar berpakaian hitam mencoba mengamankan penghuni meja. Narsha merasa kakinya kaku. Sudah lama ia tak setakut ini. Semua orang mendesaknya. Ia ingin minta tolong, tapi sulit menemukan Carrisa di antara cecaran wartawan. Lalu, terjadi begitu saja. Tangan kokoh itu membimbing dalam rangkulan satu lengan, membantunya berdiri tegak. Pria sumber masalah itu berkata di bahunya, “Merci. Aku tahu, sangat menyebalkan bagimu tetap diam menghadapi situasi ini. Tapi begini saja tidak cukup. Kau akan mendapat jauh lebih banyak kesulitan jika kita tak meyakinkan mereka.”

Narsha gagal menanyakan apa maksud perkataan itu. Suaranya terbungkam aroma elegan yang ia yakin Eternity dari Calvin Klein. Keahliannya mengenali merek parfum sama sekali tak berguna. Wangi itu hanya sedetik singgah dalam gelombang singkat tarikan bahu. Oleng seperti kapal, lalu ia mendarat dalam dekapan yang ia-tak-tahu-mengapa-bisa-terjadi-dan-mengapa-harus-dilakukan. Melengkapi itu, bibirnya terbungkam sesuatu yang juga mirip bibir. Aroma fresh spicy Eternity bersekongkol mengepung bersama jutaan kilat kamera. Tidak, milyaran.

Harusnya Narsha menonjok bekas jahitan luka tusuk Seo Joo. Perlawanan wajar untuk sikap tak sopan. Namun, ia tak berpikir ke sana. Ia butuh stok udara.

Otaknya tak bisa memikirkan apa-apa.

***

Halooo, sudah lama sekali tidak mengisi work ini. Maaf ya salam kangennya pendek. Semoga ke depannya bisa rutin update di sini. Terima kasih buat teman-teman pembaca yang nodong update-an Narsha dkk, jadi kesampaian.

See ya next chap.

PS: Lagunya enak, dengerin sambil baca yaaa.😆😆

Chitradyaries

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Dec 08, 2023 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

PariseouloveOnde histórias criam vida. Descubra agora