3. Pelindung Dalam Saku

671 139 47
                                    

Malam itu, Grand Palais dipadati pengunjung dari berbagai negara. Tempat bersejarah itu merupakan lokasi pertama dalam rangkaian Paris Fashion Week tahun ini. Semua orang yang hadir mengenakan pakaian terbaiknya. Para wanita tampak glamor sedang para pria tampil necis dan rapi.

Di sebuah ruang tertutup, Narsha memandang pantulan dirinya di cermin besar sambil memoleskan lipstick warna tea rose pada bibirnya. Carrisa berdiri di sisinya dengan sekotak lipstick aneka warna. Sementara di sekitar mereka, model-model sedang didandani oleh para perias. Fashion show baru akan dimulai sekitar dua jam lagi.

Gaun hitam tanpa lengan yang dikenakan Narsha sungguh pas di tubuhnya yang ramping dan tinggi. Sejak tadi ia berdiri di hadapan cermin bukan untuk mematut diri atau memeriksa penampilan. Pikirannya melayang, tak diketahui siapapun ke mana arahnya. Sudah lima belas menit lebih ia meletakkan lipstick di bibirnya dan baru bagian bawah yang dipoles.

Carrisa memandang khawatir pada bosnya, lalu memberanikan diri menegur. "Apa kau ingin warna lain? Ini acara penting. Tidakkah kau ingin mencoba warna selain tea rose?"

Narsha tak merespons untuk beberapa saat. Seakan baru terserap ke dunia, ia memoles bibir bagian atasnya cepat-cepat dan mengembalikan lipstick-nya ke kotak di tangan Carrisa. "Tidak, terima kasih," sahutnya singkat tanpa ekspresi.

"Apa Papa dan Eomma datang?" tanyanya kemudian.

"Ya, mereka akan duduk di kursi tamu undangan," Carrisa meletakkan kotaknya di meja lalu memeriksa riasan Narsha sekali lagi. "Kurasa sudah sempurna. Seperti penilaianku, kau sempurna mengenakan warna gelap. Yakin rambutmu ingin seperti itu saja?"

Narsha meneliti rambutnya yang dibuat bergelombang dan setengah digelung ke atas. Namun, lagi-lagi ia justru terpaku memandang pantulan dirinya di cermin.

Tak ingin membuang waktu lagi, Carrisa cepat-cepat menyela, "Itu sudah bagus. Lagipula kau kan bukan model peraga busana. Tampilan sederhana lebih elegan. Kita perlu memeriksa tampilan model-model kita. Sebaiknya kita cepat. Harusnya tadi kita berdandan di rumah saja dan masuk dari pintu kehormatan. Aku sungguh repot sekarang. Ah, tunggu dulu, bagian ini kurasa agak mengganjal," Carrisa membenahi gaun Narsha di bagian pinggang. Gerakannya tiba-tiba terhenti. Ia memandang Narsha dengan tampang terkejut. "Ini?"

Narsha meletakkan telunjuk di bibir. "Kautahu aku tak bisa ke mana pun tanpa membawa ini."

"Narsha!" seru Carrisa tertahan. Ia memandang sekelilingnya sesaat sambil memelankan suara. "Jika pihak penyelenggara tahu kau membawa pistol ...."

"Tak akan," sergah Narsha cepat. "Asal kau tetap diam, Carrisa."

"Tapi kenapa kau harus membawanya di saat seperti ini?!" Carrisa mulai kesal. "Pistol semacam jimat bagimu? Huh?! Tunggu-tunggu, jadi karena ini kau memintaku datang lebih awal lewat pintu masuk karyawan? Agar bebas dari alat pendeteksi metal? Kau gila!"

Narsha memutar tubuh menghadap asistennya seraya tersenyum simpul. "Anggaplah begitu. Aku selalu berpikir suatu saat aku pasti membutuhkan benda ini. Entah kapan. Tapi aku merasa saat itu semakin dekat. Kau boleh berpikir aku gila. Tak apa, karena kau tidak tahu."

***

Acara berjalan lancar. Sepanjang fashion show berlangsung, seorang wanita Prancis berambut merah kecokelatan yang duduk di seberang panggung terus memandangi Narsha dengan sorot penuh persaingan. Dia Brenda Mason, fashion desainer pemilik brand QUEEN, saingan FM milik Narsha.

Brenda bermata hijau besar, dengan kulit pucat dan bibir tebal yang seringkali tersenyum meremehkan lawan bicara. Usianya hampir empat puluh dan sejak muda telah menjadi saingan Selene Francois. Dia berbakat dan tentunya ambisius, tukang pamer dan blak-blakan.

PariseouloveWhere stories live. Discover now