19. Permainan Takdir 2

750 109 20
                                    

Seo Joo berusaha membantu  menggelindingkan roda kursinya dengan tangan, tetapi tak mampu mengimbangi kecepatan pendorongnya. Ia melirik ke belakang pada gadis yang membawanya menyusuri koridor ramai rumah sakit. “Aku mengajakmu berjalan-jalan, bukan lomba lari,” protesnya, “kenapa jalanmu cepat sekali?”

“Orang yang punya tujuan jelas pasti berjalan dengan cepat.” Gadis itu membela diri tanpa mengurangi kecepatan langkahnya. Dia baru berhenti mendorong ketika tiba di taman rumah sakit, tepat di depan sebuah bangku panjang berwarna senada hamparan rumput di kaki.

Pemandangan musim semi sangat kental di taman itu. Awan putih berarak tinggi mewarnai kubah kapel Pitié-Salpêtrière yang berwarna kelabu kehitaman. Banyak pasien yang juga duduk-duduk di taman itu bersama keluarga. Anak-anak berlarian, petugas medis berbaur dengan pengunjung yang lalu-lalang di lorong seberang taman. Semua pemandangan itu memicu senyum di bibir Seo Joo.

Narsha duduk di bangku hijau, melipat tangan. Wajahnya tengadah merasakan sinar matahari. Seo Joo tergoda untuk ikut mendongak, memejamkan mata, merasakan sinar ultraviolet meresap ke pori-pori kulitnya. Hanya beberapa detik, kemudian ia berpaling dan mengamati lekuk wajah gadis unik di hadapannya. Ia menyadari sesuatu, kemudian menyuarakan pikirannya, “Kau sangat mirip orang Korea.”

Gadis itu membuka mata dan melayangkan pandang mata elangnya pada Seo Joo. Ekspresi yang belakangan selalu membuat Seo Joo menebak dalam hati apa yang akan dikatakan gadis itu selanjutnya.

Narsha tertawa hambar. “Aku orang Prancis,” tegasnya.

Seo Joo mengangguk. Matanya lari memandang lalu lalang manusia di lorong seberang taman. Ia yakin dugaannya benar, tetapi memilih tak mendebat pengakuan Narsha dan mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana kau dan Ji Hoon bisa saling mengenal?”

Narsha terkekeh datar. “Aku tak tahu kau penasaran pada hal-hal seperti itu.”

Seo Joo juga tak tahu mengapa topik itu yang dipilihnya. “Aku hanya penasaran.”

“Aku sahabat kecilnya Ji Hoon."

Seo Joo tersenyum. Jawaban itu menjelaskan pertanyaan sebelumnya.

Seo Joo bertanya lagi, “Jika Ji Hoon dan dirimu bersahabat saat kecil, bukankah artinya kau dulu tinggal di Korea? Kapan kau pindah ke Prancis?”

Narsha mengerjap kesal. Sadar dirinya terjebak. Namun, dia menjawab juga, “Saat aku delapan tahun.”

Gadis ini memang orang Korea. Seo Joo manggut-manggut. Ingin bertanya lebih jauh tetapi mengurungkan niat ketika melihat ekspresi kaku Narsha.

“Aku penasaran akan banyak hal,” ucap gadis itu.

Seo Joo menganggapnya rem untuk segera menutup mulut dan mendengarkan.

“Sebelumnya aku ingin minta maaf soal insiden terakhir.”

Seo Joo mengerjap takjub. Ia tak menyangka seorang Narsha Francois bisa mengucap maaf. Ia tertawa, berusaha terdengar santai. “Tak apa. Aku yang seharusnya minta maaf.”

“Aku menemukan post it-mu.”

Seo Joo merasa wajahnya memanas.

Nada suara Narsha sama sekali tak berubah, tetap datar terkendali. “Kau benar. Menggunakan pistol sudah menjadi kebiasaan bagiku. Aku tak bisa pergi keluar rumah tanpa pistol.” Gadis itu menyingkap kaosnya sedikit, menunjukkan pistol yang terselip di pinggang belakangnya. “Aku mengatakan semua ini padamu agar kau mampu menjawab semua pertanyaanku. Sekarang, katakan yang sebenarnya.”

Tak seperti percakapan mereka tempo hari. Seo Joo tak lagi menangkap pandang curiga dari mata gadis itu. Meski mata elangnya masih sama tajam, ia dapat melihat kendali utuh di sana. Gadis itu menatap ke arah atap kapel rumah sakit. Suaranya terdengar bagai merenung. “Tentang pertemuan kita di La Proche. Apa kau sungguh tak mengikutiku?”

PariseouloveWhere stories live. Discover now