6. Rantai

535 102 24
                                    

Eduoard Francois mengusap wajahnya gusar. Ekspresinya keruh. Berulangkali ia bangkit dari kursi besi tanpa lengan yang dinginnya terasa menembus sampai ke tulang, membuat perasaan takutnya berkali lipat lebih besar.

Sudah satu jam lebih ia berada di bangunan serba putih itu, tetapi tangannya masih gemetar seakan baru beberapa detik ia melewati kejadian mengerikan yang membuat istrinya terluka. Ia menunduk menatap tangannya yang penuh bercak darah mengering dari luka sang istri.

Pintu ruang operasi masih terkatup rapat. Ia merasa makin frustrasi. Ia tak sanggup diam barang sedetik pun. Muncul keinginan besar untuk menerobos masuk ke dalam, menemani sang istri menjalani operasi. Pasti menyakitkan. Ia tahu benar hal itu.

Tak pernah seumur hidup ia mengalami hal mengerikan seperti yang terjadi pagi tadi. Rasanya ia kehilangan setengah jiwanya, kehilangan dirinya yang biasanya sangat tenang dan percaya diri. Yang ia temukan sekarang hanya dirinya yang penuh rasa bimbang dan takut. Sungguh mengerikan akibat sebuah kejadian.

Dua petugas polisi berjaga di tengah lorong, tepat di persimpangan ruang operasi dan elevator. Tak ada yang perlu Eduoard takutkan lagi, ia sudah menceritakan semuanya pada petugas polisi dan mereka pasti akan segera menangkap orang yang menembak istrinya.

Apa yang terjadi? Ia sendiri pun sebenarnya tak yakin apa yang baru saja menimpanya. Pagi ini, ia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja sementara istrinya memasak di dapur bersama pelayan wanita mereka. Tiba-tiba Eduoard mendengar suara tembakan bersamaan dengan pekikan istrinya dari arah dapur. Secepat kilat, ia langsung menghambur ke dapur untuk mencari sang istri. Naasnya, ia menemukan istrinya telah tergeletak bersimbah darah di lantai, sementara pelayan mereka entah pergi ke mana.

Jika benar ini perbuatan pelayan wanita itu, untuk apa dia melakukannya?

Eduoard memejamkan mata dan menggeleng. Berusaha tetap tenang. Sebentar lagi pasti Narsha pasti tiba, ia telah menelepon putrinya tadi.

Benar dugaannya, karena tiba-tiba ia mendengar petugas polisi bercakap-cakap dan ketika mendongak, ia mendapati putrinya telah berjalan mendekat.

"Papa tak apa?" tanya gadis itu pelan sambil duduk di sebelahnya.

Di luar dugaan Eduoard, putrinya tampak begitu tenang seolah tak ada yang terjadi. Edouard berusaha tersenyum. "Ya, Papa baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Dear?"

Narsha tak menyahut dan justru kembali bertanya, "Bagaimana keadaan Eomma? Kaubilang dia ditembak pelayan?"

Edouard tertawa menyadari kebodohannya. "Tidak seharusnya Papa berkata begitu di telepon, Narsha. Maafkan Papa. Kau pasti terkejut. Papa tak bisa menahan diri. Papa juga sangat terkejut."

"Aku bisa melihatnya," Narsha tersenyum seakan dirinya benar-benar hanya memahami dan tidak merasakan keterkejutan yang sama. "Bagaimana itu bisa terjadi?"

"Papa tak tahu, Narsha. Sungguh tak tahu. Tiba-tiba semuanya sudah begitu. Eomma-mu sudah bersimbah darah di lantai." Eduoard mengusap dan membenamkan wajahnya di balik telapak tangan. "Aku tak ingin ada hal buruk menimpanya, Narsha."

"Tak ada seorang pun ingin sesuatu yang buruk terjadi, Papa," gumaman bernada dingin itu membuat Eduoard mengangkat wajah memandang putrinya.

Narsha sedang menatap satu titik pada dinding putih di hadapannya. Ekspresinya tenang namun tak terbaca. Eduoard tiba-tiba tertegun karena mengingat sesuatu. Tepat pada saat itu Narsha menoleh dan tersenyum padanya.

"Tak apa," ucap gadis itu. Mata Eduoard langsung berair.

"Tak akan ada yang terjadi pada Eomma. Percayalah padaku!" tambah gadis itu, kemudian kembali memandang dinding tanpa berkata apa-apa.

Eduoard teringat akan kejadian masa lampau yang sering istrinya bicarakan. Kejadian yang membuat Narsha menjadi gadis yang begitu dingin. Tanpa sadar ia bergidik ngeri ketika sadar peristiwa yang baru saja dialaminya sama persis seperti cerita yang didengarnya tentang kematian ayah kandung Narsha dahulu.

Selama ini ia pikir, segala peringatan, semua kewaspadaan yang ditunjukkan istri dan putrinya terlalu berlebihan. Apa ini bukti bahwa ketakutan itu nyata? Apa benar ada seseorang yang mengawasi mereka dan berniat mencelakakan mereka?

Eduoard memejamkan mata kuat-kuat sambil mengepalkan tangan, menolak segala pikiran anehnya. Ketika ia membuka kembali matanya, ia melihat Narsha berjalan ke arah pintu ruang operasi yang telah terbuka. Ia pun segera menghambur ketika melihat seorang dokter keluar dari sana.

"Bagaimana istri saya, Dok?" sambarnya langsung.

Dokter itu memandang Eduoard dan Narsha bergantian, mengangkat bibirnya sedikit membentuk senyum empati. "Anda beruntung, Monsieur. Pelurunya tak mengenai organ vitalnya. Kami sudah berhasil menangani lukanya. Tapi...."

"Ada apa, Dok?" Narsha yang bersuara.

Dokter setengah baya itu ragu sejenak. "Tentang penyakit Madame, kami tak bisa berbuat banyak."

Eduoard membeku. Matanya mengerjap lambat. "Apa maksudmu, Dok?"

Dokter itu mengembuskan napas halus. "Monsieur (Tuan), kau tahu betul istrimu sudah lama mengidap penyakit yang menggerogoti tubuhnya setiap waktu. Peluru yang mengenainya memang dapat kami tangani, tetapi kecelakaan ini membuat kondisinya makin melemah. Kita hanya bisa menunggu. Semoga kondisinya berangsur membaik."

"Apa maksudmu, Ibuku tak akan bisa bertahan?" tanya Narsha dingin. Matanya menghujam si dokter.

Dokter itu tetap tenang dan membalas, "Bukan begitu maksudku, Madame. Ibu Anda akan baik-baik saja. Tentu kami akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Tapi untuk saat ini, kami tak bisa memastikan kapan beliau bisa bangun. Kita hanya bisa menunggu."

Eduoard menggamit tangan putrinya, berupaya menenangkan gadis itu. Setelah mengucapkan terima kasih, ia menarik Narsha kembali ke kursi tunggu. Gadis itu mengikuti tanpa perlawanan.

"Eomma-mu akan baik-baik saja, Narsha," ucap Eduoard, lebih meyakinkan dirinya juga.

"Eomma baik-baik saja, Papa," tegas Narsha. "Dia memang baik-baik saja, bukan akan baik-baik saja."

"Ya, tentu," Eduoard mengangguk. "Operasinya berjalan lancar. Papa yakin dia akan bangun sebentar lagi."

Narsha menoleh, wajahnya datar, tetapi ia berkata dengan suara tenang, "Jaga diri Papa baik-baik. Papa tahu kan, Papa harus menjaga diri baik-baik."

Eduoard paham arti peringatan itu. Bahwa ada bahaya yang mengancam dan putrinya ini pasti tahu sesuatu. Tetapi ia tak ingin memaksa Narsha memberitahunya.

"Baiklah," gumamnya akhirnya. "Maaf karena Papa tak bisa melindungi Eomma-mu."

"Bukan salah Papa," balas Narsha sambil bangkit berdiri dari kursi. "Aku merasa lelah sekali hari ini. Papa juga harus pulang dan beristirahat. Eomma aman di sini. Papa bisa pulang untuk mengambil barang-barang. Aku juga harus pergi."

"Kau ingin ke mana?" tanyanya heran. Entah mengapa ia merasa ada yang aneh pada diri putrinya. "Kau baru tiba."

"Eomma sudah tidak apa-apa. Aku akan ke FM," Narsha bernada tetap wajar. "Sebaiknya Papa tak sendirian di sini. Panggillah beberapa orang untuk menemani Papa."

"Papa tahu itu, Narsha," jawab Eduoard sambil mengangguk. "Pergilah! Eomma akan baik-baik saja."

Narsha mengangguk tersenyum, lalu melangkah pergi.

Eduaord menatap kepergian putrinya dengan helaan napas panjang. Bagaimana selama ini gadis itu bisa menghadapi perasaan bersalah karena tak bisa melindungi seseorang yang begitu dicintainya? Eduoard sehari pun tak mampu. Rasanya sungguh menyiksa.

Gadis itu masih sangat kecil ketika kehilangan ayahnya, tetapi ia tumbuh dengan sangat baik. Eduoard tak tahu di balik punggung yang menjauh itu, Narsha menggenggam tali tasnya sambil menggigit bibir kuat-kuat, mencegah tangisnya pecah.

***

PariseouloveWhere stories live. Discover now