File : Puteri Duyung #10

3.4K 435 31
                                    

Aku agak kebingungan saat wanita tua itu berjalan menjauh, sedangkan tadi dia yang mendatangiku dan dengan semangat memaki-maki aku.

"Nyonya, tunggu!" aku mengikutinya, sebenarnya aku tidak perlu berteriak padanya, wanita itu berjalan lambat.

"Tuan Anderson, tunggu." aku menoleh pada Adam yang keluar dari mobil. Dia mengenakan topi bulat setelah menutup pintu dan dengan cepat menyusulku sambil membenarkan kacamata bulatnya, dan mobilnya ia biarkan terparkir di pinggir jalan desa.

Kabut lumayan tebal karena sekarang masuk musim dingin, bahkan salju mulai turun. Tapi memang di wilayah ini udara selalu dingin, berada di kaki gunung yang terselimuti salju abadi.

Sepanjang jalan orang-orang desa menatap kami, dan itu membuatku enggan menyapa. Kami berjalan lambat, hingga sampailah kami di rumah yang agak jauh dari pemukiman, rumah tua kecil berdinding kayu yang sendirian, jauh dari rumah warga lainnya, dengan halaman sempit tanpa tanaman.

Wanita tua itu membuka pintu, menoleh padaku dan Adam tanpa berkata-kata lalu masuk tanpa menutup pintu, aku tahu maksud dia mempersilahkan kami masuk.

Aku masuk disusul Adam, dan berada di dalam rumah yang hampir seluruh perabotnya terbuat dari kayu. Wanita tua tadi berjalan perlahan setelah melepas mantel dan penutup kepalanya, menuju sebuah lampu minyak yang menempel pada dinding dan berusaha menyalakannya.

"Anda tinggal sendirian, Nyonya... em, boleh tahu nama anda?" kataku sambil membantunya menyalakan lampu.

Lalu dia mengambil sebuah lampu minyak duduk dan memberikannya padaku, aku pun menyalakannya.

"Mau minum sesuatu?" kata wanita itu tanpa melihat pada kami.

"Boleh, saya mau..."

"Tidak usah repot-repot, Nyonya," aku menyela kata-kata Adam, "anda duduk saja, kami hanya ingin menanyakan sesuatu."

Adam melirik padaku sambil membetulkan kacamatanya, padahal benda itu sudah tepat bertengger sempurna di hidung mancungnya. Aku terkekeh, berhasil membuat Adam sedikit kesal.

Wanita tua itu kembali berjalan, dia menuju sebuah kursi dengan meja di depannya dan ada kursi kayu panjang lain yang berhadapan. Aku duduk di hadapannya, begitu juga Adam.

"Namaku Eirlys Wahl, dan tidak ada Wahl lagi yang tersisa di desa ini." kata wanita tua itu tiba-tiba.

"Apa yang terjadi, Nyonya Wahl?" tanya Adam, pria jangkung setengah tua itu lagi-lagi membenarkan letak kacamata bulatnya yang tidak melorot sama sekali.

Eirlys mengusap rambut putihnya, "kalian terlalu banyak ingin tahu, itu tidak baik." wanita yang tadi terlihat menakutkan itu sekarang terlihat lebih lembut tapi tetap misterius. Mungkin dia tidak mau bercerita tentang keluarganya, aku memakluminya meski penasaran.

"Maafkan kami, Nyonya Wahl."

"Kalian seharusnya tidak ke sini."

"Ada apa sebenarnya dengan desa ini? Apa karena isu Orthros itu?"

Eirlys tiba-tiba menatapku, bibirnya yang pucat dan keriput berkedut-kedut, "mereka tidak akan membiarkan orang luar mengusik rahasia desa."

"Mereka siapa, Nyonya?"

"Para pengabdi, dia bukan menjaga, dia mengambil jiwa."

"Nyonya Wahl, beritahu aku siapa mereka!" aku sedikit gemas.

Eirlys melirik sekejap lalu kembali memandang ke bawah, "tidak, kalian juga tidak akan pernah tahu, mencari tahu mereka juga percuma. Mereka pengikut suatu bangsa yang sudah dianggap hilang. Kalian tidak akan bisa tahu meski menyelidikinya di sini. Mereka tidak ada di sini, mereka ada di tempat-tempat tertentu di seluruh dunia."

Detektif MitologiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora