File : Makhluk Tanah #9

1.9K 288 24
                                    

Ada sebuah legenda di Jawa, tentang desa yang tersembunyi sejak berabad-abad yang lalu. Desa yang makmur, subur dan penduduknya saling akur dan tiada kekurangan tanpa pernah keluar atau berhubungan desa lain.

Orang-orang memberi nama Desa Nglimuni, berasal dari kata halimun yang berarti menyamar, bersembunyi atau membuat orang terkecoh. Desa tersebut kadang tampak dari kejauhan dan berada di kaki gunung, namun saat didekati tempat itu akan menghilang dan hanya terdapat padang rumput saja dengan tanah yang lembab dan berlumpur dan berrawa.

Pernah ada saudagar kaya raya yang ingin menguasai tempat tersebut dan memerintah sejumlah anak buah untuk menemukannya, karena salah satu anak buah berkata melihatnya dari kejauhan. Namun usaha mereka sia-sia dan anak buahnya dihukum mati karena dikatakan berbohong.

Hingga saat ini jika beruntung masih ada yang sempat melihat tersebut tapi tak ada satupun yang menemukannya.

...

Bulan tak bergerak di tempatnya, seolah waktu serasa berhenti disini. Hanya sinar birunya yang perlahan meredup dan membuat jalan yang akan kami lewati terlihat semakin suram. Kabut tipis bagai asap melayang-layang di atas kolam-kolam gelap yang tenang tanpa sedikitpun riak. Cahaya kerlap-kerlip berwarna jingga dari binatang — yang aku yakin itu bukanlah serangga kunang-kunang— terlihat banyak dan menari-nari di atas kolam. Dengan suasana tegang dan waspada, kami mulai berjalan melewati jalan gelap yang dijuluki 'jalan kematian' oleh Ibe ini.

"Sebelumnya biar ku katakan sesuatu," Ibe tiba-tiba berkata. "Mungkin jalan ini terlihat mudah dan tinggal lurus saja. Tapi asal kalian tahu, jalan ini bisa menyesatkan."

"Lalu harus bagaimana?" tanya Bimo.

"Jangan pedulikan suara apapun dan tetap awasi teman-teman kalian," jawab Ibe.

Ya, memang kita tinggal berjalan lurus saja mengikuti jalanan yang terbentang diantara pepohonan besar dan kolam-kolam sunyi ini.

Suhu semakin terasa dingin, ingin rasanya aku menggosokkan telapak tanganku dengan kedua lengan.

Sayup-sayup terdengar suara wanita, seperti gumaman pelan atau rintihan pedih, lembut tapi menyayat telinga.

"Itu bukan aku," kata Kinanti.

"Ya, aku tahu," jawabku.

Kami semua terdiam dan tetap berjalan. Mungkin itu adalah suara banshee, aku belum pernah melihat peri itu bahkan mendengar suaranya juga. Tapi asal tahu, dia mendatangi dan 'menangis' pada orang yang akan mati, jadi apakah kami akan mati disini?

Jalan ini seakan sangat jauh padahal kami semua sudah berjalan dengan cepat-cepat. Namun suasana hening dan tenang ini seakan menghipnotisku untuk menikmatinya. Tanpa sadar setiap berjalan aku memperhatikan setiap gerakan dari cahaya kerlap-kerlip tadi, sebuah tarian dengan musik kesunyian yang begitu tentram.

Aku merasa ringan dan nyaman, bukan kantuk yang kurasakan hanya rasa lelahku serasa 'diletakkan' dan dilepas dari pundakku. Tanpa sadar aku merasa basah pada kakiku, air membanjiri isi sepatuku dan kini aku berdiri di atas kolam yang menggenangi hingga mata kaki —jika aku lebih maju lagi mungkin akan lebih dalam lagi— dan aku berada jauh dari jalan yang kulalui.

Entah apa yang terjadi tapi kini aku sendirian, kenapa aku bisa tiba-tiba ada disini? Mana yang lainnya?

Aku keluar dan menjauh dari kolam, menuju kembali ke jalan dan mencari teman-temanku namun mereka tidak ada. Aku lalu melepas sepatuku dan menuang air yang masuk ke dalamnya, untung aku sudah tidak pakai kaus kaki. Seekor hewan kecil yang mirip ikan namun memiliki dua kaki depan berwarna biru dengan dua mata yang menggembung keluar bersamaan air dari dalam sepatuku, menggelepar di tanah lalu berusaha merangkak ke arah kolam. Aku baru melihat makhluk yang seperti itu. Sirip mungilnya yang lancip tegak berdiri dan meliuk-liuk bersamaan dengan tubuhnya menuju ke arah kolam, kelihatannya sangat susah.

Detektif MitologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang