File : Makhluk Tanah #1

3K 344 19
                                    

Pria itu menatap kami, kumis dan jenggotnya berwarna kelabu menutupi senyumnya yang mengembang.

"Paman Surya?"

"Jalu," Paman Surya mendatangiku dan memelukku, "kau agak kurusan sekarang, ya."

Paman Surya adalah suami Bibi May, ayah Kinanti. Dia berwajah keras, sama seperti sifatnya yang memang sedikit kaku, setidaknya dia pernah memarahiku waktu aku kecil karena mengajak Kinanti membaca catatan-catatan ayahku tentang makhluk mitos. Namun aku tahu dia tidak membenciku dan menganggapku seperti puteranya sendiri, dia hanya tidak menyukai tentang mitos, seorang yang memandang segalanya dengan logis.

Setelah mengenalkan paman dengan Bimo dan sedikit basa-basi, kami semua menikmati makan malam yang dibawa Bibi May. Saat itu aku ingin segera menanyakan tentang benda yang ku cari, namun aku sedikit ragu karena baru hari pertama kami sampai, kami tidak ingin mereka menganggap kami hanya datang untuk itu, terutama pada Paman Surya. Dia pun sama sekali tidak menyinggung tentang benda itu. Tidak banyak yang bisa diceritakan pada malam pertamaku, kami hanya mengobrol biasa sebelum mereka semua pulang ke rumah sendiri meninggalkan aku dan Bimo.

Sebelum tidur, aku ditelepon oleh Nick. Dia membicarakan tentang keberangkatan ke China dan sedikit terkejut saat mengetahui aku berada di rumah kakek. Aku hanya bilang akan singgah sebentar saja dan berusaha secepatnya ke sana. Nick menutup teleponnya setelah sebelumnya mewanti-wanti agar tidak menunda-nunda untuk berangkat ke negara tirai bambu itu.

Aku duduk sendiri di teras rumah kakek, menikmati suasana malam yang hening, jauh dari kebisingan. Gelap, rembulan tiada menampakkan dirinya. Sunyi, hanya suara binatang-binatang malam yang seolah menunjukkan keberadaannya. Halaman rumah kakek yang luas, ditumbuhi rumput-rumput pendek dan rapi, jelas sekali kalau paman dan bibi merawat rumah ini dengan baik. Tanaman pendek -entah apa namanya-, mengelilingi rumah, seperti semak sebagai pembatas halaman rumah dengan jalanan yang gelap dan sepi. Sepertinya desa ini ikut terlelap bersama istirahatnya sang mentari, begitu senja, tak ada satupun manusia yang keluar.

Srug srug...

Aku mendengar suara samar-samar dari kegelapan di halaman, berjarak sekitar lima meter di semak-semak tepat di depanku. Suara sesuatu yang mengais-ngais tanah.

Srug srug srug...

Suara itu semakin jelas karena kesunyian malam. Semak-semak dari tanaman pendek setinggi pinggang orang dewasa sebagai pagar rumah. Aku berdiri, dan suara itu berhenti. Mungkin itu hanya kucing atau anjing, tapi aku tidak melihat anjing seekorpun tadi siang.

Krosak krosak!

Aku sedikit terkejut karena suara itu seperti sesuatu yang berlari menerobos semak-semak dengan cepat. Terlalu cepat untuk seekor anjing atau kucing karena suaranya berpindah dari semak di depanku ke semak yang ada di samping kiri rumah hanya dalam beberapa detik.

Aku berjalan ke sisi rumah yang gelap, mendekati berakhirnya suara tadi. Memasang mata dan telinga baik-baik, namun tidak ada apapun yang kutangkap dengan kedua inderaku. Lampu kecil di teras terlalu remang, sinarnya tidak mampu menerpa sisi rumah yang gelap.

Kini tanaman pagar itu hanya berjarak satu meter di depanku, tidak terlihat apapun selain siluet dari semak itu sendiri. Aku yakin 'sesuatu' itu bergerak dan berakhir di sini.

Tiba-tiba aku merasakan cengkraman di pergelangan kaki kananku, dibarengi dengan suara lengkingan pendek. Secara reflek, aku memutar badan dan menendang dengan kaki kiriku.

Bug!

"Aduh!"

Kulihat Bimo yang terjengkang dan mengusap-usap lengannya. Tendangan memutarku tadi mengenainya.

Detektif MitologiWhere stories live. Discover now