Handsome Lord & The Scar Lady - Part 5

20.9K 2.3K 25
                                    

Lavinia langsung menutup pintu kamarnya, terkejut dengan apa yang baru terjadi. Lavinia berusaha menenangkan dirinya dibalik pintu, mengatur napasnya setelah berlari.

Seseorang melihat wajahnya.

Wajahnya.

Lavinia mengingat jelas ekspresi pria tadi saat menatapnya. Pria itu terlihat kaget saat melihatnya. Lavinia merasa, pasti pria itu merasa jijik saat memandangnya, karena pria itu langsung melepaskan dagunya saat menatap wajahnya.

Menatap bekas lukanya.

Gadis itu dengan perlahan mengangkat jemarinya naik ke atas, menghampiri wajah, lalu berhenti di dahi—pada segores bentuk kasar di kulitnya.

Lavinia menyentuh tempat itu cukup lama.

Gadis itu lalu menggerakkan jarinya perlahan, dari ujung ke ujung lainnya. Dalam beberapa detik, dia kembali menghempaskan tangan, tak sanggup untuk melanjutkan.

Lavinia terdiam selama beberapa menit, kemudian mendongak menatap kegelapan kamar di depan matanya. Lavinia mulai memandang jauh.

Lavinia terkenang waktu itu, sewaktu dirinya kecil, saat kecelakaan itu terjadi. Saat berumur tujuh tahun, ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Di umur itu, Lavinia mendapatkan seorang ibu dan adik tiri.

Kejadian itu terjadi di sore hari yang cerah, Lavinia masih mengingat jelas peristiwa itu.

Ayahnya adalah seorang penggemar pedang, bahkan mengoleksinya. Saat itu, ayahnya baru saja menerima seorang tamu untuk berbicara tentang tambang batubara yang berada di Newcastle—Ayahnya sangat berminat dengan tambang di tempat tersebut.

Dan di saat itu pula, Lavinia kecil dengan ceria berjalan menuju kamarnya, lalu berhenti melangkah saat melihat kamar ayahnya sedikit terbuka. Lavi langsung dapat melihat Britanie, adik tirinya yang lebih kecil darinya, berada di sana melalui celah pintu.

"Britanie, di mana kamu?" Terdengar suara ibu tirinya yang sedang mencari anaknya itu dari ujung lorong.

Lavinia pun kemudian masuk ke dalam kamar ayahnya dan ingin mengajak Britanie keluar dari sana. "Brie, ayo keluar dari kamar papa," katanya ke gadis mungil itu.

Tapi Britanie kecil masih menggeleng dan duduk di lantai dekat meja ayahnya, menolak ajakkan Lavinia, "Tidak mau."

Lavinia pun mendekati gadis kecil tersebut, dan kembali membujuk adik kecilnya itu. Melihat Britanie yang tidak mau berdiri sama sekali—keras kepala tetap ingin berada di sana—membuat Lavinia kecil mengambil keputusan, dia akan menggendong adik tirinya itu. Lavinia yang berumur tujuh tahun, merasa sanggup menggendong gadis kecil yang dua tahun lebih muda darinya. Merasa hal itu bukan masalah besar untuknya.

Lavinia pun mulai mengangkat adiknya itu. Lavinia kecil kemudian menyadari, ternyata, walau Britanie terlihat sangat mungil, tapi adiknya itu terasa cukup berat di tangannya. Rasa berat itu semakin terasa saat Britanie kecil berontak dan kakinya menendang-nendang udara. Dan, kejadian itu terjadi dalam sekejap mata.

Lavinia yang tak bisa mempertahankan keseimbangannya,  tergerak mundur menabrak meja dibelakangnya, membuat air hangat di dalam teko tersiram ke tubuhnya, menjadikan Britanie kecil terhempas dari tangannya, dan membuat Lavinia ikut terjatuh di lantai dekat meja tersebut.

Lavinia jatuh tergeletak dengan wajah menghadap ke samping, dan dalam sekejap, sesuatu rasanya melewati dirinya. Lavinia tidak tahu apa itu. Tapi sesuatu benda tipis terlihat jelas di depan matanya. Dan, Lavinia merasa sesuatu yang basah muncul tiba-tiba di wajahnya—yang terasa perih.

Lavinia pun menangis tak bisa menahan rasa sakit itu, Britanie kecil yang melihat itu mulai menangis keras, membuat ibunya menemukan dirinya dan Lavinia di sana.

Ibu tirinya langsung berteriak kencang saat melihat Lavinia yang tergeletak mengeluarkan darah di lantai dengan sebuah pedang yang terjatuh di sebelah wajah anak itu—membuat ayah mereka berlari ke ruangan itu. Lavinia kecil dapat mengingat kepanikan yang terjadi sebelum matanya tertutup dan jatuh pingsan.

Semenjak saat itulah, keluarganya mulai berubah. Ayahnya mulai pendiam, dan membuang semua pedang di rumah itu, saat mengetahui wajah anak perempuannya tak bisa disembuhkan. Ayahnya lebih banyak berdiam diri dan mengunci dirinya sendiri di dalam kamar. Semenjak itu pula, ayahnya sudah sangat jarang dilihatnya.

Britanie mungil yang dulu sering bermain dengannya, tidak pernah berbicara lagi dengannya hingga saat ini. Sementara ibu tirinya, memang sejak dulu lebih memikirkan Britanie dibanding dirinya.

Lavinia pun selalu mengunci diri di dalam kamar, karena tak ingin berinteraksi dengan siapa pun. Dia tak ingin wajahnya dilihat oleh siapa pun termasuk para pelayan, karena itu, dia selalu memutari rumah waktu tengah malam, saat semua mata sudah tertidur. Lavinia memasuki semua ruangan tanpa menyalakan cahaya di dalamnya—dia sudah terbiasa, karena kamar Lavinia pun seperti itu, selalu gelap setiap saat.

Sejak saat itu pula, Lavinia mulai terbiasa seorang diri.

Lavinia melihat kembali kegelapan di dalam kamarnya, lalu berjalan menuju meja kecil. Gadis itu masih mengingat tatapan pria yang mengajaknya bicara. Lavinia masih mengingat cara pria itu memandangnya. Tatapan penuh keterkejutan. Tapi, Lavinia dapat menangkap pandangan jijik yang tak sadar diperlihatkan oleh pria tersebut dalam hitungan se per sekian detik. Dan Lavinia masih mengingat jelas ekspresi wajah sekilas itu. Gadis itu langsung berteriak dan menjatuhkan semua benda dari atas meja.

Lavinia pun kemudian meraih vas bunga di dekatnya, lalu melemparnya. Semua yang bisa diraihnya saat itu, dilemparkannya ke segala arah.

Saat sudah tak ada lagi benda yang bisa digenggamnya di tempat itu, Lavinia kemudian menggepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja, dia menarik napasnya, berusaha tenang, tapi tatapan pria itu terlihat jelas walau dia sudah menutup mata. Lavi langsung memukul permukaan meja itu dengan kedua telapak tangannya. Kesal, tak bisa menghapus tatapan buruk itu di dalam pikirannya.

Setelah sekian tahun dia menghindari semua orang, Lavinia tak menyangka akan mendapat tatapan seperti itu lagi. Dia menyesal keluar dari kamarnya. Dia menyesal ke kuburan itu. Dan dia menyesal bertemu dengan pria itu. Lavinia kembali berteriak kesal.

Setelah mengeluarkan kesedihannya dengan berteriak, Lavinia terdiam kembali di meja itu. Hatinya sudah sedikit lebih baik—hanya sedikit. Lavinia kemudian menyadari, satu makhluk kecil bergerak pelan di antara kakinya. Membuat Lavinia tersadar bahwa dia tak seorang diri di dalam sana.

Lavinia kemudian duduk membungkuk, menyentuh makhluk kecil berbulu lembut itu. "Shadow, hanya kau yang tak akan memandangku seperti itu. Aku hanya punya dirimu saat ini," kata Lavinia sambil memeluk erat kucing hitam tersebut. Lavinia mengelus lembut kucing itu dan menciumnya. Hanya kucing itu yang selama ini selalu bersamanya.

Sebuah cahaya bulan berhasil lolos dari balik jendela kamarnya, dan menerangi kucing berbulu hitam itu. Dapat terlihat kucing tersebut hanya memiliki satu mata.

Ya, mata Shadow satu lagi buta. Terlihat bekas luka di lubang mata yang sudah tak ada itu. Luka gores dalam menghiasi wajah Shadow, di mata kirinya.

Majikan dan hewan peliharaan yang memiliki bekas luka yang benar-benar sama.

Luka gores di dahi Laviania

Dan luka gores di mata kiri Shadow.

Lavinia lalu melepaskan Shadow dari pelukannya, dia dapat melihat kucing hitam itu yang berjalan sedikit aneh. Selain memiliki bekas luka, kucing hitam kesayangannya itu juga pincang—yang merupakan hukuman dari Lavinia karena kenakalan kucing tersebut di masa lalu.

***

Handsome Lord & The Scar Lady [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang