Perasaan Sesungguhnya

75 11 2
                                    

Pagi yang sangat cerah. Terik matahari sudah tak begitu menyengat tubuh lagi. Angin yang berdesir terasa menyejukkan. Silaunya cahaya dari sang matahari. Kali ini Desyca benar-benar menikmati paginya. Ia bersiap-siap belanja untuk keperluannya selama di Australia. Yah, mungkin ia akan merindukan musim di Jepang.

Tapi, ada satu hal yang membuatnya merasa gelisah. Tepatnya saat ia sedang mencari ponselnya dan ia tak menyangka menemukannya di teras balkon. Saat ia melihat layar ponselnya, ia mendapat sebuah email. Jarang sekali ada orang yang masih menggunakan email. Begitu ia buka, ia tersentak dengan apa yang diterimanya.

From : Erika

Sesuai janji, besok kita akan berlibur di taman hiburan. Ku harap kau datang tepat waktu ya! Jam 10 pagi, kami tunggu di stasiun.

---

Jika diingat waktu semalam, ia sempat bertengkar dengan Erika. Bagaimana caranya ia mengatasi situasi saat mereka di taman nanti? Rasa canggung dan bersalah akan selalu menyelimutinya. Tak di sangka oleh Desyca, Erika bisa semarah itu. Ini kedua kalinya Erika menampar Desyca dan masalah yang sama pula.

Setibanya di supermarket, Desyca langsung mengambil tas keranjang lalu berjalan ke tempat rak-rak yang menjual keperluan pribadi. Seperti sabun mandi, shampo, dan sebagainya. Desyca masih sibuk memilih merek sabun yang sering ia gunakan. "Hmm mana ya?" Gumamnya. "Oh! Ketemu" Ia pun mengambil sabun itu dan meletakannya di keranjang.

Di tengah kesibukannya memilih barang lainnya, ia melihat arloji yang melinkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.38. Merasa sudah cukup ia beralih ke kasir. Setelah barangnya sudah dihitung, ia mengeluarkan beberapa lembar uang kepada penjaga kasir. Ia ambil plastik belanjaannya lalu keluar. Namun tak di sangka ia akan bertemu seseorang tepat di hadapannya.

"Irina?" Irina hanya menatap Desyca dengan wajah datar lalu membuang muka. Desyca tak heran jika Irina membuang muka padanya. Detik kemudian, Desyca pundak Irina bergetar dan ternyata ia menangis. "I-irina? Kenapa kau menangis?" Desyca menghampiri Irina yang membeku. Isakan Irina semakin jelas. Desyca pun membujuk Irina untuk beralih ke suatu tempat dimana orang tak dapat melihat Irina yang sedang menangis sekarang.

Desyca melihat sebuah taman, mereka berdua menuju ke sana. Sesampainya mereka di sana, Irina langsung duduk di bangku taman yag di susul Desyca. "Ada apa, Irina? Kenapa nangis?" Kini kepalan tangan Irina menguat dan ia berusaha untuk menghindari kontak mata dengan Desyca. "Aku..." Irina tak melanjutkan kalimatnya. Desyca hanya diam untuk menunggu kelanjutannya.

"Aku... Di tolak" Air mata jatuh membasahi tangan Irina. Desyca terkejut hebat. Sepertinya Vicki memang tak ingin membukakan hati pada Irina. Padahal Irina sudah berubah, dan ia sebenarnya baik.

"Bagaimana... Bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Ini lebih sakit dari apa-pun" Desyca mengerutkan keningnya lalu menunduk. Ia tau betul apa yang di rasakan Irina sekarang. Tapi, jauh di dalam hatinya, kenapa ia merasa bahagia?

Desyca sadar ia tidak boleh seperti ini. Rasanya ada sedikit cemburu karena Irina yang duluan mengatakan perasaannya. Sedangkan dirinya tak berani mengungkapkan.

"Tak apa" Tanpa sadar Desyca berucap demikian membuat Irina tersentak. "Apa maksudmu tidak apa?!" Suara Irina naik satu oktaf. "Maksudku... Aku akan membuatnya melihatmu" Irina membelalak. Apa maksud dari ucapan Desyca? Apa dia sedang meawarkan bantuan?

"Maksudmu?"

"Susul kami di taman Arakawa. Jadi, jika aku pergi itulah kesempatanmu. Akan aku lakukan sebisaku" Desyca mengigti bibir bawahnya. Pandangannya kosong menatap tanah yang ia pijak.

"Jadi maksudmu, kau memberiku kesempatan untuk dekat dengan Vicki lagi? Sungguh?" Mata Irina berbinar. Sedangkan Desyca terus mengutuk dirinya sendiri. "Iya"

Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang