Bab 2- Kenyataan Baru

10.2K 327 5
                                    

"Arrghh ...."

Erangku sambil membuka mata perlahan. Rasanya tubuhku terasa letih dan sakit-sakit. Aku juga merasa ada tangan kekar yang memelukku. Dengan penasaran perlahan aku telusuri tangan itu, seketika mataku melebar dan melepaskan tangan itu kasar. Tanpa peduli akan orang asing yang berani-beraninya memelukku. Aku beranjak duduk dan mataku semakin terbelalak saat melihat tidak ada satu helai pun benang menutupi tubuhku. Jantungku seakan berlari marathon di dalam sana. Aku ambil paksa selimut tebal itu dan kutupi tubuhku tanpa peduli orang brengsek di sebelahku mengeliat.

"Apa yang terjadi? Apa yang sudah aku lakukan?" Pertanyaan itu tak henti-hentinya berputar di otakku. Tanpa aku sadari air mataku mengalir begitu saja. Tangan ku menggigil tak karuan. "Apa yang sudah aku lakukan?" lirihku mengulang kalimat yang berputar di benakku.

Aku melirik sebentar lelaki yang kembali menggeliat di tempatnya, menatapnya penuh kebingungan dan ketakutan kemudian perlahan-lahan aku bangkit dan memunguti pakaianku yang berserakan di lantai. Aku telah mengecewakan Bunda. Tidak bisa menjaga kepercayaan yang diberikan Bunda padaku. Aku telah melukai hatinya. Aku harus bagaimana?

"Maafkan Alen, Bunda," lirihku berjalan ke kamar mandi dengan air yang terus mengalir diwajahku.

Di dalam kamar mandi, aku terpekur di bawah air shower yang sengaja aku putar semaksimal mungkin. Airmataku bercampur dengan air yang membasahi seluruh badanku yang kotor penuh hina itu. Aku membenci diriku sendiri. Memakinya dan memukul-mukulnya sekuat tenanga. Aku benci diriku. Aku tak bisa menjaga apa yang telah aku jaga dari dulu. Membiarkan orang asing merusaknya.

"Maafkan Alen, Bun." Ada jeda, "maaf..." Aku terus saja meracau tidak jelas seraya menghukum diriku dengan semakin kuat memukulnya.

Aku keluar dengan pakaian yang ku pakai semalam minus cardigan yang sudah sobek. Dengan jejak airmata yang masih ada. Aku berjalan layaknya orang tak bernyawa. Mataku menangkap sosok lelaki yang duduk di tepi ranjang dengan memakai pakaian utuh. Pria itu menatapku datar. Kembali jantungku terasa di cengkram kuat--sesak, dan air mataku kembali jatuh. Mengingat apa yang telah aku lakukan dengan pria itu semalam.

"Kamu jahat!" Aku berjalan ke arahnya dan memukul lelaki itu sekuat-kuatnya. Meluapkan emosiku melalui pukulan bertubi-tubi yang aku berikan. "Kamu jahat! Apa yang kamu lakuin ke aku? Hah?" racauku terduduk di lantai di samping kakinya.

Setelah lama bergeming ia memijat hidung nya. "Kamu nggak usah nangis kejar gitu." Sontak aku mendongak menatap pria itu sengit.

Apa? Dia bilang apa? Benar-benar lelaki itu. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran nya. Bagaimana mungkin, aku akan baik-baik saja setelah kehormatan ku di ambil. "Kehormatan aku kamu ambil dan kamu bilang apa?" tanyaku meninggi.

Dia berdiri. "Saya bakalan tanggung jawab, jadi diam!" ujarnya dingin tapi tegas seraya mengeluarkan dompetnya dan menuliskan sesuatu di selembar kertas tipis itu, "ini uang untukmu." lanjutnya sembari membuang kertas itu ke arahku lalu dia berbalik dan meninggalkan aku sendirian dikamar yang menjadi saksi bisu apa yang telah dilakukan pria brengsek itu.

Aku terenyak. Airmataku semakin merembes jatuh. Detak jantung yang semakin menggebu-gebu panas. Aku mentap nanar kepergian orang itu. Aku bukan pelacur, tapi kenapa dia memperlakukanku seperti itu? Apakah aku seperti perempuan malam di matanya?

Bunda, Alen bukan pelacur, tapi kenapa pria itu memberi Alen imbalan. Bunda, Alena takut.

***

Bram POV

Aku pulang kerumah saat pukul sudah jam sepuluh pagi. Setelah dari tempat sialan itu, aku sengaja berputar-putar keliling Jakarta untuk meregangkan pikiranku yang kacau. Entah apa yang telah aku lakukan pada perempuan pelacur itu. Aku yakin di sini tidak aku yang salah. Bisa saja perempuan itu memanfaatkan tubuhku yang semalam tengah mabuk berat dan melakukannya, lalu dia akan meminta sejumlah uang yang bernominal besar padaku. Aish, sialan perempuan masa sekarang. Untuk ngedapatin uang saja harus melakukan cara kotor seperti itu. Aku bukan mempersalahkan uang tersebut, karena nilainya tidak sebanding dengan apa yang aku miliki, tapi aku tidak suka saja tubuhku yang bagus itu di nodai oleh orang lain yang tak bermoral. Tubuhku hanya milik Salma, istriku.

My Husband a Widower (Completed) Where stories live. Discover now