Bab 16- Permohonan Briel

1.7K 80 0
                                    

Perlahan senyumku hilang. Hatiku terasa sakit. Seakan ada benda tajam yang tertancap di sana. Aku memang tidak sepenuhnya mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi satu yang aku tangkap. Dia yang di maksud Bram dan temannya itu, Salma. Istri pertama Bram.

Tanpa aku sadari air mataku merembes. Aku menangis. Perlahan peganganku terlepas. Pikiranku kacau. Mataku seakan menatap takut pintu yang tertutup rapat itu. Dengan langkah gontai aku menjauh dari ruangan Bram.

Aku meremas dada yang terasa nyeri di dalam sana. Langkahku terseok-seok. Baru saja aku mengakui, aku mencintainya. Kenyataan itu membuatku sakit.

Apa Bram akan meninggalkan aku? Melepaskan aku begitu saja? Apa dia tidak memiliki rasa yang sama denganku? Apa pernikahan yang selama 4 bulan lebih ini akan berakhir seiring dia datang?

Pertanyaan itu membuatku pusing. Aku menyeka air mata kasar dan mengambil ponsel dalam tas kemudian mencari nomor seseorang yang bisa menjemputku saat ini. Sambungan itu tersambung.

***

Briel baru saja mengantarkan Manda ke rumahnya. Mobil porsche merah itu melaju lambat menuju rumahnya. Kepala pemuda itu sesekali mengangguk sambil menatap fokus jalanan di depannya. Tidak ada suaranya yang terdengar, hanya saja suara musik dari radio yang mengalun merdu dari suara pria yang banyak di gemari kaum hawa. Justin Bieber. Love yourself.

Mobil itu berhenti saat matanya melihat lampu merah baru saja menyala. Pandangannya dialihkan ke luar. Nada dering telepon genggam miliknya yang berbunyi membuatnya menoleh ke kursi sebelahnya. Briel mengambilnya dan mengernyit heran saat nama yang dikenal muncul.

Briel mengendik lalu menerima panggilan kemudian mempelkan benda itu ketelinganya. Belum sempat Briel bersuara, suara gadis di seberang sana terlebih dulu menyelanya.

"Briel... jemput aku di kantor Bram!"

Suara serak khas orang menangis menusuk telinganya dan seketika membuatnya memutar balik mobilnya saat lampu merah berganti dengan lampu hijau. Mobil porsche merah itu membelah jalan Jakarta dengan kecepatan tinggi. Tidak perduli makian dari pemilik mobil-mobil yang di salipnya. Tujuannya hanya satu.

Secepatnya sampai ke gadis itu.
Briel memang tidak mengerti apa yang terjadi pada Alen. Darahnya berdesir saat mendengar suara Alen yang serak dan napas yang terengah. Ia berharap ini semua tidak ada hubungannya dengan Abangnya.

***

Untuk kesekian kalinya aku menyeka air mata yang semenjak tadi tidak mau berhenti mengalir. Dadaku semakin nyeri. Aku bersandar di pintu toilet menatap kosong yang ada di depanku. Tanpa aku kedipkan air mataku mengalir dengan sendirinya.

Ponsel yang tergeletak di atas tas ku menyala dan berdering. Dengan napas berat aku mengambil dan menerima panggilan itu.

"Lo di mana?" Suara Briel yang tersirat khawatir, membuatku sedikit merasa tenang. Senyum itu perlahan tercipta.

"Toliet." Sahutku pelan.

Panggilan itu terputus begitu saja. Aku terdiam. Hingga derap langkah yang sangat aku kenal terdengar mendekat. Perlahan aku bergeser ke samping, membiarkan pintu itu terbuka oleh seseorang yang langsung menatapku khawatir. Briel berjongkok dan memegang pundakku. Aku menoleh kemudian memeluknya erat. Seerat yang aku bisa.

My Husband a Widower (Completed) Where stories live. Discover now