Bab 4- Perencanaan Gila

7.8K 279 6
                                    

Dua bulan telah berlalu dengan pengobatan mentalku di rumah yang megah ini. Di sela-sela penangananku, Tante Vega masih sempat-sempatnya mencuri-curi cara untuk men-tes, apakah aku hamil atau tidak. Dua bulan yang membuatku bertemu dengan beberapa orang asing lagi. Dua bulan yang berat dengan wartawan yang masih saja menyerbu keluarga ini dan meminta penjelasan atas kasus yang diperbuat oleh orang mabuk itu.

Semenjak aku tinggal di rumah ini, hari pertama aku kesinilah aku terakhir melihatnya. Karena aku selalu berteriak parno jika bertemu atau sekadar mendengar namanya—yang sebenarnya tidak aku ketahui, tapi entah kenapa aku yakin bahwa nama yang mereka sebut-sebut itu adalah nama pria brengsek itu. Aku membencinya.

Namun, ide gila yang di usulkan Tante Vega, ah bukan. Maksudku perencanaan tergila itu, membuatku akan benar-benar terikat dengan orang brengsek tersebut.

Sekarang berakhirlah seperti ini. Tante Vega yang menyiapkan semuanya, mulai dari gedung, pakaian, ketring serta hal lainnya tanpa sedikitpun mengikut sertakan aku.

Paling-paling hanya sekadar mencocokkan pakaian serta cincin pernikahan, yang mana tetap memusingkan bagi gadis seumurku. Entah, aku harus bersyukur atau bagaimana. Akan tetapi, si lelaki yang masih enggan aku sebut namanya itu, tidak mau tahu semuanya. Dia menyerahkan segalanya padaku. Apa yang aku pilih, berarti itu yang harus disiapkan Tante Vega.

Ini merupakan perencanaan gila yang sebenarnya masih belum terlalu bisa di terima oleh otakku sepenuhnya. Karena aku juga dalam tahap penyembuhan, namun hal itu juga tidak bisa aku elakkan. Entahlah, dengan alasan tertentu.

Aku juga belum tahu pasti tentang lelaki itu, bahkan namanya saja, aku masih lupa-lupa dan kelu jika mengucapnya. Hal itu yang membuatku merasa perencanaan ini terlalu cepat. Karena kami—abaikan umurnya yang sudah dewasa, tapi menurutku dia masih seperti anak-anak seusiaku—yang belum bisa saling bersifat dewasa untuk memulai pendekatan, yang sebenarnya harus dilaksanakan sebelum pernikahan dilaksanakan agar bisa saling mengenal.


Aku terdiam menatap majalah yang ada di pangkuanku. Angin sore di gazebo belakang rumah, berembus tenang. Hal itu membantuku dalam penyembuhan, setidaknya memberikan rasa nyaman dan damai.

Aku tersenyum tipis. Merenggangkan sedikit tubuhku dan memperbaiki posisi duduk dengan kepala yang bersandar di tiang. Membiarkan angin menyapu seluruh wajahku dengan lekat.

Sebelum memilih menatap langit, aku menoleh ke belakang. Melihat pintu yang tak berorang. Jam segini memang selalu sepi, karena lelaki itu jarang pulang ke rumah dan Tante Vega sibuk dengan pekerjaanya yang membantu suaminya. Serta Tante Vega juga menangani segala sesuatu yang bersangkutan dengan pernikahaan aku nanti.

Hanya ada asisten rumah tangga yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing serta perawat yang selalu memantau aku dengan jarak beberapa meter dari gazebo.

Diam-diam melaporkan apa saja yang aku lakukan pada Tante Vega. Soal itu, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Sudah cukup saat itu aku mencoba untuk memberhentikan wanita berseragam tersebut, untuk tidak lagi  mengadukan apa saja yang aku kerjakan.

Selebihnya, aku tidak tahu apa-apa lagi. Apakah lelaki berengsek itu punya adik atau apapun itu, aku tidak tahu. Juga aku tidak ingin tahu. Karena jika aku mencoba untuk mencari tahu, maka yang ada kejadian hari itu akan kembali membuatku terpuruk.

***

S

ore telah tiba, Tante Vega juga sudah pulang dan aku tersenyum ketika dia mengelus puncak kepala dengan hangat. Aku menutup mulut dan menguap. Memberi kesegaran untuk otak dan penglihatanku yang kabur. Sementara tubuhku terasa pegal dan ngilu. Aku memperbaiki dudukku.

“Kenapa tidur di sini?” Tante Vega bertanya hangat.

Aku membuang pandang ke arah lain dan menggeleng seraya tersenyum padanya. Aku sadar, aku telah tertidur di gazebo selama dua jam. “Nggak ada, Tante,” jawabku seadanya.

“Yasudah. Yuk, masuk.” Ajaknya dan aku mengangguk. Mengikutinya yang berjalan di sebelahku.

“Bra-"

“Tante besok pagi, aku boleh keliling taman, gak?” tanyaku yang sengaja menghindari mendengar nama yang akan di ucapkan Tante Vega.

Bukannya aku ingin menjadi seseorang yang seolah-olah tahu, tapi memang kenyataannya aku tahu. Mengetahui kalimat apa yang akan keluar dari mulut berpoles merah itu.

Dia menghela napas dan mengangguk seraya membawa tanganku ke dalam rumah. “Boleh. Sama siapa?”

“Sendiri, Tan,” balasku meliriknya dengan hati-hati.

Dia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya tepat di hadapanku. “Mau Tante temani?”

Aku spontan menggeleng. Lagian aku sudah berniat untuk pergi sendiri sebelum hari berat itu akan tiba. Aku hanya ingin membuat diriku merasa baik di bawah tekanan yang besar. Aku tahu, hidupku tidak akan sama lagi. Bahkan setelah hari itu, semuanya berubah.

Tante Vega tersenyum. “Jangan pulang terlalu siang, ya. Kamu harus istirahat untuk acara besoknya.” Aku memilih  untuk diam dan mengikuti langkah wanita paruh baya yang telah menganggapku sebagai anaknya.

Dengan tiada hentinya membuang napas pelan, aku membiarkan telingaku mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Doa-doa yang tak terlepas dengan harapan akan aku dan lelaki mabuk itu, setelah acara yang akan di laksanakan esok lusa, selesai. Lidahku bahkan kelu untuk mengucapkan nama acara yang akan berlangsung dua hari lagi. Otakku bahkan terasa ingin pecah membayangkannya. Sementara darahku berdesir hebat, membuat tubuhku terasa menggigil.

Diam-diam, aku berdiri di depan cermin. Mematut diri dan menatap setiap inci pantulan bayangan yang ada di dalam benda tersebut.

Benarkah, aku akan menikah dengan lelaki yang bahkan tidak aku kenali itu? Lelaki yang berhasil merubah hidupku dalam sekejap? Pada orang yang sama yang membawaku pada detik saat ini? Membawaku dalam ketakutan yang tak berujung? Pada kebimbangan yang beralasan.

Tuhan, akankah dia bisa di katakan baik untukku? Akankah dia benar-benar tulus menjagaku nantinya? Atau apakah dia hanya sesaat untuk kisah hidupku? Tuhan, Alena takut.

Continue...

Semuanya kembali. Aku hadir membawa bentuk revisi dari cerita MHAW ini. Bentuk lain yang aku sendiri tidak tahu apakah menurut kalian lebih baik dari sebelumnya atau tidak.

Menurutku sih, setidaknya bentuk revisi ini lebih baik dari pada sebelumnya yang terkesan berantakan.

So, aku harap, ada di antara kalian yang menunggu bentuk revisi dari cerita ini dan aku juga berharap, agar kalian tidak lupa dengan alurnya. Semoga saja, Amin.

Namun, jika kalian lupa, maka aku sarankan untuk membaca beberapa part sebelumnya. Dimana hal itu bertujuan untuk membuat satu anggota berteman dengam anggota lainnya.

Mungkin untuk sekarang hanya itu yang bisa aku sampaikan. Aku sangat berharap untuk like dan komennya yang mendukung.

28 Maret 19

Salam,

Au


My Husband a Widower (Completed) Where stories live. Discover now