Bab 8- Sebuah Kabar

6K 210 5
                                    

Aku dan Bram baru saja keluar dari arrival bandara. Senyum kesenangan memenuhi wajahku. Ku rentangkan ke dua tangan kemudian memejamkan mata dan menghirup udara Bali di siang hari yang cerah, secerah harapanku menikmati liburan ini.

"Alen di Bali, Bun." gumamku.

"Heh! Jangan nge-deso! Buat saya malu saja," kata Bram di sampingku, yang datang membawa dua koper.

Deg!

Suara siapa itu? Aish ... ternyata si lelaki duda. Menyebalkan!

Aku membuka mata dan menoleh ke arahnya yang berdiri di sebelahku. "Kak Bram yang menyebalkan, bisa nggak itu mulut sehari saja nggak bikin sakit hati?" kataku membuat senyum terpaksa.

"TIDAK! Kamu pantas mendapatkan itu," Aku memandangnya cengo. "Bawa koper kamu!" ujarnya berjalan mendului.

***

Selama di jalan aku tak hentinya menggerutu dan mengutuk dirinya. Bagaimana mungkin aku mau menikah dengan lelaki seperti Bram Angelo Mahesa. Pria tanpa ekpresi, dingin, melakukan apapun sesuka hatinya dan mulut yang selalu suka berkata kasar level tinggi.

'Bunda, Mama Vega ngidam apa saat ngehamilin dia?'

"Mulut kamu kenapa?" tanyanya menoleh ke arahku yang cemberut.

Aku menatapnya malas, "Nggak kenapa-napa, Kak. Sini aku yang masukinnya ke dalam lemari," kataku dan dia memberikan kopernya setelah itu pergi ke balkon kamar hotel kami selama di Bali.
Selesai memasukkan semua pakaian aku dan Bram kedalam lemari, aku menghampiri pria itu. "Kak lihat sunset yuk!" ajakku.

Padahal aku masih belum terbiasa dengan situasi yang membuat kami selalu terjebak berdua seperti ini.

Dia mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Kamu saja! Saya ada kerjaan."

Aku refleks mengangkat bibirku sebelah. "Kerjaan? Kan kita lagi honeymoon, ngapain masih ngurus kerjaan?" tanyaku.

Dan sial, dia tersenyum aneh menanggapi perkataanku. Kenapa dia?

"Kamu berusaha mengingatkan saya?" tanyanya misterius.

Aku mengangguk. Kan, memang benar honeymoon? Eh, sebentar. Bahasa Indonesia honeymoon apa?

Tanpa aku duga lelaki duda itu mendekatiku, spontan membuatku mundur dan sial! Tubuhku bersandar pada pagar pembatas balkon. Sekarang posisiku terkunci dengan kedua tanganya di samping kanan kiri ku. Dia mendekatkan wajahnya pada wajahku yang menjauhinya.

"Kak Bram ... nga-ngapain?" cicitku yang mulai merasakan ketidaknyaman di dekatnya.

Dia semakin mendekat. Membuat deru napasnya membelai lembut pipiku. Aku terdiam membeku merasakannya seraya segala doa yang aku hapal terapal sudah di dalam hati. Berharap setan di tubuh Bram pergi terbirit-birit saat detik itu juga.

"Katanya bulan madu, jadi..."

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Kalian ingat saja trauma yang aku alami bagaimana.

"Kita jalan-jalan. Ya sudah, pantai yuk, Kak. Dari sana kita bisa liat sunset, pasti indah banget." kataku mendorong dadanya setelah mengumpulkan semua keberanian yang aku miliki. Tanpa aku duga, dia malah berbalik dan menaiki tempat tidur.

My Husband a Widower (Completed) Where stories live. Discover now