Bab 6- Haruskah Menerima?

6.8K 217 3
                                    

Subuh telah datang. Aku mengerjap dan seketika bayangan kejadian kemarin langsung memenuhi otakku tanpa diminita. Aku menoleh dan mengernyit melihat kasur di sebelahku kosong. Kemana dia? Batinku bertanya bisu kemudian mengedarkan pandangan dan menghela napas ketika melihat lelaki itu tertidur di sofa hotel.

Aku mengendik dan berjalan menuju kamar mandi sekadar membersihkan diri dan mengambil wudhu’. Setidaknya aku tidak boleh melupakan yang di Atas, atas apa yang telah aku lalui.

“Astagfirullah,” gumamku terkejut ketika melihat Bram berdiri memunggungiku dengan separuh bagian atas bugil.

Sontak aku merasa merinding dan bergegas berdiri, menghindari Bram yang entah kenapa bayangan-bayangan beberapa bulan lalu kembali terlintas. Aku menahan sesak bersembunyi di kamar mandi, menghiraukan Bram yang sempat melirik kepergianku yang tergesa-gesa itu sekilas.

“Aaaaa!” teriakku saat sibuk mengatur napas.

“Berisik.” Suara Bram menusuk pendengaranku yang seketika membuka telapak tangan yang menutupi wajahku dan menatap Bram dengan pucat. Bram melirikku yang bersandar dengan alis terangkat. “Bereskan pakaianmu, kita pulang sekarang.”

“Ya Allah! Kenapa melihat Bram sekarang seolah-olah melihat hantu?” gumamku sembari melirik punggung Bram yang menjauh. Aku memegang tangan yang menggigil dan menghela napas panjang sebelum berlari untuk melakukan titah dari lelaki itu.

***

“Selamat datang di rumah kembali pengantin baru!” Sambut Tante Vega gembira saat kami memasuki rumah. Aku menghela napas dan mencoba tersenyum menanggapi sambutan yang di berikan beliau, sedangkan Bram? Uh! Jangan di tanya, dia masih setia dengan wajah tanpa ekspresi itu.

Sepertinya Tante Vega menghiraukan kebiasaan anaknya itu dan malah tertarik menghampiriku. “Bagaimana semalam, hm?” bisik Tante Vega menggoda yang langsung membuat bulu kudukku merinding.

Aku bahkan tidak memikirkan apapun selain mengontrol diri untuk tidak melukai Bram. “Tante … sepertinya aku masih membutuhkan mbak Rita,” gumamku dalam hati, menatap tante Vega khawatir.

“Seperti yang Mama bayangkan,” ujar Bram seadanya. Tante Vega tersenyum lebar kemudian berlalu pergi. Aku mengernyit menatapnya binggung, maksudnya?

Aku mengekori langkahnya yang membawaku ke ruang keluarga. Di sana mereka telah duduk menanti kedatangan kami. Siapa lagi kalau bukan Om, Briel dan … anak itu. Tante duduk di sebelah suaminya sedangkan aku dan Bram masih berdiri. Anak itu tersenyum dan berlari ke arahku.

“Mommy!” serunya memeluk pinggangku.
Dadaku kembali bergemuruh. Tubuh yang menegang itu perlahan berganti normal seiring menarik napas setelah melihat senyum was-was yang di berikan oleh semua orang di ruangan besar ini. Aku menunduk dan menyamakan tinggiku dengan anak kecil yang terlihat sangat bahagia itu. Aku tersenyum paksa. “Ada apa?” tanyaku yang berusaha menyuarakan suaraku.

"Duduk," katanya menarik tanganku ke tempat di mana Bram duduk. Aku menghela napas berat. Berusaha menstabilkan detak jantung dan gemetaran tanganku untuk mengikuti kemauannya kemudian mendudukkan anak itu di pangkuanku.

"Mama senang kamu bisa menerima Lea."

Aku tersenyum miris mendengar penuturan itu. Bisakah aku benar-benar menerimanya? Tidak. Tante Vega hanya tidak tahu bagaimana aku berusaha menahan ketakutan, kekhawatiran, dan segala sesak yang tengah melanda diriku saat ini.

My Husband a Widower (Completed) Where stories live. Discover now