Bab 5 - W.Day

7.4K 269 5
                                    

Rasanya mataku terlalu berat untuk di buka pagi ini. Seakan ada perekat terampuh untuk menjaganya tetap tertutup. Aku benar-benar tidak menyangka hari ini datang juga. Hari di mana aku melepaskan masa lajang dengan umur yang belum terlalu matang.

Aku mengeliat dalam selimut tebal putih itu. Mengerjap-ngerjapkan mata yang masih tertutup. Ada rasa ragu terbesit di relung hati akan calon suamiku. Bagaimana tidak, selama ini aku tidak pernah bertemu dengannya, terlebih seminggu belakangan ini. Di mana waktu yang seharusnya bisa kami gunakan untuk saling mengenal—meski aku sebenarnya tidak ingin, malah di buang sia-sia.

Ya, Tuhan. Aku mengusap wajahku dan beranjak duduk. Mematut kedua kakiku yang mengambang di atas lantai. Semuanya sudah terlambat, desisku dalam hati. Hari ini adalah akhirku.

Semuanya semakin di jelaskan dengan ingatan, di mana lelaki itu membaca ijab qabul dengan suara lantang dan lancar, masih terekam jelas di memori dan sekarang aku malah sedang tersenyum kepada segelintir orang yang hadir menyaksikan penikahan gila ini. Aku sudah terlanjur menikah dengannya.
Kepala ku semakin pusing, mengingat semuanya. Memoriku berputar jauh ke belakang tanpa di minta. Mengingat kembali tujuan sesungguhnya aku datang ke kota ini. Mengingat penyebab aku berdiri di sini dan mengingat Om David serta Tante Vega yang belum menemukan alamat Ibu Ana.

Berbicara tentang Ibu Ana, aku sebenarnya memiliki alamatnya, namun alam semesta pun tahu apa yang terjadi malam itu yang ujung-ujungnya membuatku terdampar pada takdir yang seperti ini. Sebenarnya aku bisa saja menghubungi Bunda di kampung atau nomor Ibu Ana yang di berikan Bunda waktu hari keberangkatan. Akan tetapi, ponselku raib ketika pria sialan yang sialnya sekarang sudah sah menjadi suamiku itu, menghilangkannya.

Aku menghela napas dan memijit pelipis ketika melihat lelaki itu tengah berbicara dengan seorang pria yang um … terbilang tampan. Aku memejamkan mataku dengan tangan yang masih setia di pelipis. ‘Sekarang aku telah menajdi seoarng istri,’ batinku berbisik.

Aku membuka mata saat merasakan seseorang mencolek lenganku sedikit kasar. Aku tahu siapa pelakunya. Siapa lagi jika bukan, Bram? Aku menoleh dan menatapke arah Bram yang tengah melirikku datar. Aku kembali menghela napas. Sepertinya aku harus terbiasa dengan sikapnya yang dingin dan kentara sekali tidak menginginkanku dalam kehidupannya.

Ah, sial. Jika dia tidak ingin denganku, kenapa melakukannya padaku malam itu? Kesalahan? Aku tertawa menangis mendengarnya.

Aku mencoba untuk bersikap biasa meski masih ada rasa yang sama menghantuiku selama pemulihan. Aku menatapnya dengan seakan-akan bertanya 'Apa'. Sepertinya dia mengerti akan maksudku. 

"Kenalkan dia sahabat saya, Ario Bima." Lelaki yang dimaksud itu tersenyum sambil menjulurkan tangannya.

Aku meliriknya kemudian membalas salam. "A-" Baru membuka mulut, suara Bram menginterupsi ku untuk berhenti. "Dia bocah bodoh yang menjadi istri saya." Bram menurunkan tangan lelaki itu.

Aku mendelik sebal menatap Bram, ku alihkan pandangan ke arah lelaki yang berdiri di depanku, dia tampak menahan tawa.

"Bagaimana pun dia tetap istri lo, Bram," kata Ario tersenyum lembut padaku. Bram berdehem, mengiyakan.


Setelah mengucapkan itu, Ario menepuk dua kali pundak Bram dan berpamit pergi meninggalkan kami. Baru beberapa langkah Ario pergi, seorang pemuda yang tampaknya seumuran dengan ku datang dengan menggendong seorang anak gadis yang kira-kira berumur 4 tahun.

My Husband a Widower (Completed) Where stories live. Discover now