Chapter I.A

620 24 0
                                    

-Sraylira Melati-

Seorang laki-laki berpenampilan necis mengenalkan diri sebagai seorang editor dari sebuah penerbit kecil yang terkenal, dia bilang namanya Dilly. Saat ini ia tersenyum penuh keyakinan sambil menyerahkan kartu nama berisi nama, pekerjaan, alamat kantor, alamat rumah, alamat sosial media, nomor telepon yang bisa dihubungi serta foto yang tertera di samping identitas diri.

Dan aku mengabaikannya.

Aku sama sekali tak tertarik dengan tawarannya menjadi seorang novelis –meski sebenarnya ada setengah jiwaku yang langsung mengiyakan dan berjingkrak-jingkrak ketika tahu Dilly adalah seorang editor-. Aku memang suka menulis tapi tidak suka dirongrong untuk menyelesaikan ini, itu, ini, itu, seperti yang aku baca di sebuah blog seorang novelis beberapa waktu lalu. Ia bercerita setiap tahun penerbit menargetkan ia menulis sepuluh buah novel. Waw gila!, pikirku. Tak ada yang bisa menjamin dalam jangka waktu satu tahun, sepuluh buah novel yang memang matang bisa ditulis dengan sangat baik, berkualitas maksudku -setidaknya jika itu aku, aku tidak bisa. Satu novel dalam setahun pun aku tidak bisa menjamin akan terselesaikan.

Dilly menatapku lekat-lekat dengan matanya yang besar, "Kau pasti bisa! Aku akan menjadikanmu seorang novelis yang handal." Si Editor itu lantas membusungkan badan, berkata dengan penuh percaya diri seolah-olah dia adalah penulis cerita dan aku tokoh utamanya. "Percaya padaku! Di tanganku kau dan karya-karyamu akan menjadi masterpiece." Aku menghela napas malas, orang ini sudah gila.

"Kenapa aku? Kau pikir tak ada calon penulis yang lebih potensial dibanding aku? Aku ini penulis pemula. Ceritaku tidak pasaran sehingga susah diterima penerbit -mungkin tak ada yang mau terima-" Aku menghentikan ucapanku sebentar, "aku pasti membuatmu gagal."

Dilly tetap menjaga senyum di wajah lembutnya seolah-olah penolakanku barusan hanyalah angin lalu. Oke, senyumannya berhasil membuatku getir. Aku merendahkan volume suara dan kembali melontarkan orasi padanya, "Aku tidak ingin menjadi novelis milik penerbit. Aku ingin menjadi aku yang bebas menulis. Aku menulis karena aku suka dan aku mencintai dunia penulisan. Aku bukan budak yang menulis karena uang atau ketenaran seperti novelis yang itu atau itu –mungkin sebenarnya aku kurang berhasrat menjadi penulis pro, aku hanya penulis lepas," seruku.

Aku teringat dengan beberapa novelis yang karya-karyanya aku baca di perpustakaan daerah. Pada awalnya tulisan mereka menarik, tapi lambat laun tulisan itu terasa hambar dan sama saja, mereka menelurkan 7-13 novel dalam satu tahun dan beberapa novel mereka kemudian difilmkan meski tidak laku di pasaran, mereka seperti mengejar uang dan ketenaran saja tanpa menomorsatukan kualitas tulisan atau mungkin kualitas mereka hanya berkisar di situ-situ saja tanpa ada perkembangan.

Dilly menyunggingkan senyum lagi, kulit wajah bersihnya yang tertimpa sinar matahari membuatnya tampak begitu bening seperti wajah model-model pembersih wajah. "Ya, aku tahu. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Jadilah penulisku, jadikan aku editormu. Kita akan menjadikan genre misteri dan horror menduduki genre terlaris abad ini dan pionirnya adalah kau, Sraylira Melati." Dilly membungkukkan badan tegap tingginya, suara yang ringan kembali mencapai telingaku, "Kamu akan menjadi simbol genre misteri dan horror di Indonesia!"

Aku melirik Dilly cuek. Tak habis pikir mengapa ada orang aneh seperti dia yang mendatangi kampusku, memanggilku memakai pengeras suara di halaman kampus kemudian setelah melihatku dia menarik tanganku, membawaku ke sebuah kafe lantas menyodorkan kartu nama. Dan sekarang ia menyatakan hal yang membuatku geli, 'simbol misteri dan horror'. Jangan bercanda! Cukup (Almh) Suzanna saja yang menjadi simbol horror di Indonesia. Satu genre saja aku tak mau –di antara misteri atau horror-, apalagi kedua-duanya. Bisa-bisa orang takut padaku! Lebih parah lagi, bagaimana kalau sampai cowok-cowok takut padaku? Kehidupan menikah yang aku impikan terjadi di usia dua puluh lima akan pupus! Tidak!

Dunia Kepenulisan I (The Writing World)Where stories live. Discover now