Chapter II.A

75 8 0
                                    

Ok, jadi begitu. Ini disebabkan oleh Girl's Play yang aku tulis beberapa tahun lalu di blog?

Aku bersunggut kesal, terbayang wajah Dilly di pikiranku. "Jadilah penulisku, jadikan aku editormu." Kata-kata Dilly terasa berbisik di telingaku, berulang-ulang. Aargh! Kenapa aku malah teringat orang aneh dan menyebalkan itu? Aku sudah gila? Mungkin aku sakit?

Aku mengetikkan nama penaku di kotak pencarian google. Blogku langsung keluar lengkap dengan google+ dan facebook-ku. Aku menghela napas cepat. Ternyata sebegini mudahnya mencari tahu tentang aku? Meski aku memakai nama pena, aku ternyata menuliskan identitas lengkapku juga! Kecerobohan di masa lalu~

Aku kembali membaca bab pertama Girl's Play yang aku tulis ketika SMA dan ku posting di blog di awal kuliah. Tak banyak yang mengunjungi blog dan mengunduh naskah tersebut. Tercatat hanya empat orang yang mengunduh –akun mediafireku bilang begitu-. Dan salah satu pengunduh itu pasti Dilly!

"Huft. Kisah yang sebegini kelamnya. Bagaimana bisa kisah ini diterbitkan? Dia pasti gila," komentarku sambil menutup file Girl's Play. Aku menatap jendela di balik tirai oranye bermotif kupu-kupu, hujan mulai turun membasahi bumi. Seperti waktu itu, ya seperti waktu pertama kali aku menulis Girl's Play.

Aku merebahkan tubuh di tempat tidur dan kemudian mataku menutup. Udara dingin yang menyusup dari balik ventilasi jendela merasuk ke hidung dan mengalir ke dalam sistem pernapasan. Harum kawanan bunga mawar yang tumbuh tepat di depan jendela kamar juga ikut tercium tecampur dengan wangi hujan yang membawa ketenangan sekaligus rasa takut.

Where are my eyes? Where is my lip? Why is here place cold darkness here?

-Di mana mata-mataku? Di mana bibirku? Mengapa di tempat ini dingin dan gelap?-

Tanpa sengaja aku melantukan beberapa bait lagu yang menginspirasiku menulis Girl's Play. Lagu yang memiliki lirik menyeramkan itu berjudul Child's Play miliknya Hazuki Nano. Girl's Play baru kutulis beberapa bab saja. Aku menghentikan penulisannya karena fokus pada genre romansa yang banyak diincar penerbit. Dulu aku sering mengikuti kompetisi novel tapi sayangnya tak ada yang berhasil. Kegagalan–kegagalan itu membuatku vakum menulis. Impian menjadi novelis aku abaikan sementara sampai aku menemukan hasrat menulis ah bukan menulis, tapi hasrat menyelesaikan tulisan.

Sebenarnya aku ingin menjadi novelis seperti yang aku impikan ketika SMP. Ah! Tapi aku tak bisa jika menjadi novelis romansa. Aku sama sekali tak bisa menulis roman. Rasanya entah mengapa sulit sekali, mungkin karena itulah aku gagal terus menulis roman.

Aku tahu genreku bukan roman penuh (pure roman). Genreku adalah horror atau misteri seperti ucapan Dilly kemarin, mungkin aku berpikir terlalu jauh dan pesimis. Pangsa pasar untuk genre 'gelap' memang tidak selaris genre roman dan kawan-kawannya. Memikirkan hal itu, aku jadi tidak bersemangat menulis dengan tema gelap dan banting setir ke roman yang notabene merupakan genre yang kurang aku kuasai. Menjadi seorang novelis memang harus banyak belajar dan mencoba berbagai macam genre –menurutku- untuk mengasah kemampuan, dan aku masih perlu banyak belajar.

Drrrrt drrrrrt

Kulit tanganku yang menindih handphone flip-flop oranye merasakan getaran. Dengan malas aku melihat sebuah pemberitahuan dari facebook tertera di layar.

- Dilly Prawira mengirimkan permintaan pertemanan dengan Anda.

- Dilly Prawira mengirimkan sebuah pesan.

Aku menatap layar handphone dengan sebal. Oke, sekarang orang aneh dan menyebalkan itu ingin menjadi temanku di facebook dan mengirimkan pesan? Biar aku tebak, pesan itu pasti berisi kata-kata paksaan untuk membuatku menjadi penulisnya dan ia menjadi editorku!

Aku melemparkan handphone ke arah bantal di sebelah kanan. Sebenarnya aku senang ketika seorang editor datang menemuiku. Tapi, entah mengapa aku menolaknya mati-matian? Apa mungkin karena Girl's Play yang dipilih? Atau karena aku tidak suka dengan Dilly? Jika aku setuju dan menerima tawarannya. Itu artinya aku dan Dilly harus saling berkomunikasi, kan? Membayangkan hal itu, mendadak membuatku semakin keki padanya. Tidak mudah merubah kesan pertama. Orang aneh dan menyebalkan itu mendapat cap buruk dariku di pertemuan pertama. Aku bahkan mengatakan bahwa aku membencinya. Dia pasti berpikir aku susah berkomunikasi nantinya.

Dengan terpaksa ditambah rasa kasihan aku akhirnya menerima permintaan pertemanan dari Dilly. Aku juga segera membuka kotak masuk facebook.

Sraylira Melati.

Ini akun facebook-ku. Kau pasti mengenalinya dari foto profilku yang memancarkan pesona itu. Hari ini, jam empat sore datang ke kafe A. Sendirian.

Salam manis,

Dilly Prawira.

NP. Dilarang keras untuk telat apalagi menolak datang.

Aku terngangah untuk sepersekian detik.

"Memancarkan pesona? Apaan tuh? Orang ini narsis banget."

Sebelum kusadari aliran waktu ini, jam dinding berbunyi tiga kali memperingatkanku. Aku melirik gemas pada jam dinding di kamar yang berada di dekat rak penuh buku. Seekor burung keluar sambil berkata, "Pukul tiga! Pukul tiga."

Gawat!

Insting 'tak mau terlambat'ku aktif dan membuat tubuhku menyambar tas, memasukkan payung lipat, dompet dan handphone berdesakan ke dalam tas. Aku segera keluar dari kamar selagi kudengar adikku, Yasha berteriak memanggilku, "Kak! Tadi Kak Anis titip pesan. Dia akan datang pukul empat sore nanti. Ada yang ingin ditanyakan."

Aku yang masih mencari-cari sepatu kets menoleh sebentar pada Yasha yang baru saja selesai mandi. Aku terdiam dan berpikir sejenak. Perjalanan dari rumahku ke kafe A memakan waktu +/- 1 jam pergi dan +/- 1 jam pulang. Tak akan keburu jika aku harus pulang tepat jam empat!

"Bilang ke Anis. Maaf hari ini aku tak ada di rumah jam empat. Dia ke rumah kalau aku sudah pulang dan tidak capek saja. Oke, aku pergi."

"Kak, Kakak mau ke mana terburu-buru seperti itu?"

"Bertemu orang aneh dan menyebalkan!"

"Kekasih?"

"Mana mungkin!"

"Oh, belum jadi kekasih." Aku mendengus kesal, "Kau berisik."


Dunia Kepenulisan I (The Writing World)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن