Spesial I: Erika

40 6 0
                                    

-Erika-

"Aku ingin menulis cerita yang ada naganya! Kemudian ada monster." Aku menoleh pada Dilly, adik laki-lakiku yang sedang asyik dengan buku tulis dan penanya. Sudah sejak pulang sekolah tadi dia sibuk menulis. Dia memang anak yang sudah menemukan panggilan jiwanya, penulis.

Aku teringat ketika beberapa bulan lalu, guru Bahasa Indonesia yang mengajarnya di sekolah bilang pada orang tua kami bahwa Dilly memenangkan perlombaan menulis cerita pendek untuk anak-anak. Guru tersebut juga memberikan potongan koran tempat karya tulis Dilly dimuat.

Seharusnya orang tua bangga apabila anaknya berhasil dalam suatu hal. Tapi, tidak dengan orang tua kami. Mereka menelantarkan saja koran tersebut, sama sekali tidak membaca apa yang ditulis oleh Dilly.

Saat itu aku membacanya.

Saat itu aku bermain hujan bersama teman-teman. Kami berlarian ke sana-kemari. Rasanya bahagia. Tapi, esok harinya aku jatuh sakit. Demam. Ibu dan Ayahku sangat takut. Mereka langsung membawaku ke dokter dan aku disuntik.

Rasanya sangat tidak enak.

Selama aku sakit, Ayah dan Ibu bergantian menjaga. Mereka mengganti kompresku. Menyuapi serta membersihkan tubuhku. Mereka menyayangi aku, aku juga begitu.

Begitu juga dengan Kakak. Kakak diam-diam menyelimutiku di malam hari agar aku tidak kedinginan. Aku menyayangi Kakakku.

Aku menyukai mereka semua.

Mereka adalah keluarga terbaikku.

Jujur saja. Sesaat setelah membaca itu aku menangis. Aku tak menyangka anak kecil yang baru menduduki kelas empat SD bisa menulis sesuatu seperti itu.

Kemudian tanpa disadari kami berada di masa SMP.

Diam-diam Dilly mengirimkan cerita-cerita yang ditulisnya ke berbagai majalah dan penerbit. Orang tua kami tidak mengetahui tentang hal ini. Sebenarnya, Dilly tak memberi tahu siapa pun. Hanya saja aku tahu. Beberapa tulisannya dimuat di majalah anak-anak. Aku selalu mengunting dan menyimpannya dalam sebuah buku.

Suatu hari aku mendengar Dilly berbicara pada orang tua kami. "Aku ingin menjadi penulis," serunya mantap. Ibu dan Ayah hanya tersenyum meremehkan. "Mau ngapain kamu jadi penulis? Nggak usah! Kayak nggak ada kerjaan lain aja. Kamu bisa kerja di perusahaan Ayah," jawab Ayah.

"Dilly. Kamu itu cerdas. Kamu bisa masuk fakultas kedokteran. Jadi dokter saja. Masa depannya cerah," timpal Ibu.

Dilly terlihat tidak senang. Kemudian dia mengambil beberapa majalah anak-anak dan menyodorkannya pada Ibu dan Ayah. "Ini tulisanku. Mereka memuat tulisanku."

Ayah dan Ibu mengambil majalah tersebut, membukanya sekilas kemudian menutupnya cepat-cepat. "Ya, siapa saja yang ngirim ke majalah anak-anak akan dimuat. Kan ini tidak ada kriteria penilaian juri," komentar ayah terdengar begitu jahat saat itu. Dilly menundukkan kepala, "Tapi, aku sangat menyukai menulis."

"Jika kamu harus menyukai sesuatu. Sukai sains. Matematika, fisika, kimia. Nah itu baru hebat," balas Ibu tak kalah menyakitkan.

Tubuh Dilly bergetar, dengan sisa kekuatan dia merangkul majalah-majalah anak yang memuat tulisannya. "Jam les matematikamu akan ditambah mulai besok." Dilly tak mengubris perkataan Ibu. Dia langsung pergi dan mengunci dirinya di kamar.

"Kalian tak bisa begitu." Aku keluar dari kamar dan berbicara langsung pada orang tuaku. "Dilly menemukan sesuatu yang dia sukai dan dia bisa. Mengapa tidak mendukungnya?" tanyaku.

"Menulis tidak akan membuat kaya Erika. Tak akan bisa hidup lama dengan menulis," balas Ibu cepat.

Aku memandang Ibu dan Ayah dengan mata yang tak sependapat. "Kemudian, apakah dengan menguasai sains dan menjadi dokter bisa membuat kaya dan hidup lama? Apakah ada jaminan seperti itu?"

Ayah dan Ibu terdiam mendengarku. "Seharusnya kalian melindungi mimpi anak kalian," lanjutku.

"Ayah dan Ibu tak tahu kan kalau Dilly memenangkan penghargaan sebagai penulis anak berbakat tahun ini? Kalian tidak bisa memaksakan keegoisan kalian pada anak kecil! Tak semua anak memiliki bakat dan minat pada sains." Aku menyudahi perkataan dan berlalu dari orang tuaku.

Sejak saat itu. Aku ingin melindungi mimpi Dilly. Apa pun caranya.

Tapi, Dilly berhenti menulis karena depresi. Dia tak memiliki seorang pun untuk membangkitkan percaya dirinya dalam menulis. Aku juga tak bisa.

Yang bisa kulakukan adalah membangun penerbitan untuknya agar suatu hari ia bisa menulis lagi.

Dunia Kepenulisan I (The Writing World)Where stories live. Discover now