Chapter X.A

27 7 0
                                    

-Sraylira Melati-

Bagaimana caraku menjelaskan situasi ini?

Tiba-tiba saja Tery berada di kamarku padahal baru satu jam yang lalu dia menghubungiku dan bertanya di mana rumahku. Tery datang dengan napas terengah-engah. Pakaian yang ia kenakan kali ini adalah kaos lengan panjang yang dipadu apik dengan rok terusan hingga mata kakinya. Tak lupa ia mengenakan topi di kepalanya. Ketika aku membuka pintu tadi, aku sempat tertegun beberapa detik dan tersadar waktu Yasha bilang aku jangan melamun.

Mengapa orang ini ada di sini?

Seingatku, semenjak pertemuan kami di perpustakaan. Kami hanya saling bertukar surel mengenai terjemahan Gosick Red. Dia benar-benar baik hati menerjemahkannya untukku. Seandainya ada penerbit yang bisa menerbitkannya~

Kembali ke Tery. Setelah dia memasuki kamarku, dia langsung melihat-lihat sekeliling dan mengomentari semua hal di kamar ini termasuk novel-novelnya yang kuletakkan di rak dinding. Tanpa peringatan, tanpa permintaan Tery mengambil pena di atas meja dan menandatangani semua novel-novelnya. Tanda tangan gratis dari penulisnya, tanpa antri.

Biar kutebak. Apakah dia sedang melarikan diri dari manajernya?

"Ter-terkadang saya ingin berhenti menulis. Saya ingin sesuatu yang segar dalam setiap karya dan mengerjakannya tanpa deadline. Saya tak ingin menghasilkan sesuatu yang tidak matang. Saya ingin semua karya adalah masterpiece." Tery duduk di karpet sembari mengambil sebuah komik yang tergeletak di sana. "Menjadi penulis professional bukan berarti saya bisa menulis cepat dan matang. Semua karya hebat tidak selesai dengan buru-buru. Semua karya hebat terlahir karena cinta dan ketekunan penulisnya. Saya ingin orang-orang menyadari hal itu dan berhenti merongrong saya dengan paksaan saya harus menulis lagi dan lagi, cepat dan lebih cepat lagi."

Aku terdiam mendengar perkataan Tery. Apa saat ini dia sedang meluapkan semua unek-uneknya? Kenapa dia berkata seperti itu padaku? Aku orang asing, kan?

"M-mengapa kau mengatakan hal itu padaku?" tanyaku gugup.

Tery menatapku, "Karena kamu teman saya. Bukankah teman itu saling berbagi? Saya sedang membagi keluh kesah saya. Saya tak bisa mengatakannya pada Luniel karena dia tidak akan mengerti apa yang saya rasakan. Dia hanya terobsesi dengan karya saya."

Terobsesi dengan karya? Ah, aku jadi teringat dengan Dilly.

"M-ma-maaf saya tiba-tiba berbicara panjang lebar." Tery menutup mulut dan berusaha tenang. Aku hanya tersenyum kecil, "Aku akan mengambilkan minuman dulu untukmu. Kau pasti haus karena kabur dari Luniel."

"Dari mana kamu tahu saya kabur dari Luniel?"

"Napasmu ketika datang ke sini terengah-engah, rambutmu berantakan, dan bagian belakang kaosmu basah oleh keringat."

"Kamu seperti detektif!"

"Itu sesuatu yang bisa mudah diketahui jika orang menganalisisnya dengan cermat dan mengumpulkan beberapa fakta."

Ketika aku kembali dengan membawa air putih dan beberapa potong brownies coklat panggang, kulihat Tery tengah serius menghadap layar notebook-ku. Gawat! Aku lupa menutup tulisanku! Tulisanku dibaca seorang penulis professional. Memalukan!.

"Kamu menulis misteri?" Tery bertanya tanpa melihatku. Dia masih sibuk memfokuskan dirinya pada layar monitor laptop. Aku meletakkan bawaanku dan duduk dengan cemas. "Ini menarik. Lukisan Ailee sangat menarik."

Dunia Kepenulisan I (The Writing World)Where stories live. Discover now