Chapter IV.A

37 5 0
                                    

-Sraylira Melati-

Anis memaksaku menemaninya ke sebuah tempat yang masih dirahasiakan. Penampilannya agak berbeda hari ini. Anis memakai dress terusan bewarna pink, senada dengan warna pita yang menjepit rambut hitamnya, kemudian di tangan kanannya tergantung sebuah tas mungil yang juga bewarna pink, sampai jika kau melihat ke bawah pun Anis memakai sepatu dan kaos kaki pink. Serba pink.

Satu kata, mencurigakan!

Dan setiap kali aku bertanya kami mau ke mana, dia pasti menjawab dengan,

"Ada deh.", "Mau tahu aja atau mau tahu banget?" atau "Rahasia dong!" Rasanya sebel banget dengarnya. Lebih baik tak usah ditanya.

Saat ini kami tiba di sebuah taman. Tak ada siapa pun di sini padahal taman ini cukup asri dan memiliki beberapa permainan anak. Sebuah ayunan, perosotan, dan lapangan pasir berukuran kecil yang mungkin cukup untuk dimasuki oleh sepuluh anak- menyambut kedatanganku dan Anis. Pohon-pohon akasia yang tersusun rapi serta bunga-bunga beraneka warna yang tersebar di sekeliling taman ini juga siap memberi kata selamat datang untuk para pengunjung taman. Sayangnya, tak banyak orang tertarik datang ke taman, anak-anak lebih suka di rumah bermain gadget atau sibuk di tempat les, begitupun orang tua yang tidak membiarkan anaknya bermain di taman karena anaknya dijejali gadget, les atau karena orang tua itu overprotective.

Mata Anis mulai mencari sesuatu, "Kok belum ada, ya? Biasanya jam segini," gumamnya. Aku mulai mencium sesuatu yang aneh pada kalimat Anis. Jangan-jangan dia mengajakku ke sini untuk bertemu seseorang? Jangan-jangan dia mau mengenalkan seorang cowok padaku? Ah tidak! Dia pasti akan menyikat cowok itu duluan sebelum berbaik hati menyodorkan padaku!

Eh sebentar. Mengapa pikiranku jadi semakin mengada-ngada?

"Anis, siapa yang kau tunggu?" tanyaku cepat dibandingkan aku mulai berspekulasi macam-macam gara-gara Anis.

Anis tak menjawab. Ia masih sibuk mengaktifkan antenanya, mencari radar seseorang. Otakku bergerak sendiri mencari jawaban yang saat ini pasti tak akan didapatkan jika aku bertanya pada Anis.

Beberapa petunjuk terlintas di pikiranku,

1. Taman bermain dekat rumah Anis.

2. Anis berpenampilan berbeda dari biasa.

Aku menghela napas panjang, "Memangnya Dyan akan kemari, ya?" tanyaku cepat. Anis memandangku dengan takjub, matanya terbelalak. Oh, tebakanku tepat. "Kau hebat Mela! Kau bisa membaca pikiranku, jangan-jangan kau memiliki indera ke enam?" balas Anis.

Kali ini aku mengambil napas dan menahannya sebentar sebelum menghembuskannya kembali. Tak perlu kemampuan indera ke enam untuk menebak pikiran. Menghubungkan satu per satu fakta dan informasi dapat membuat seseorang dibaca seperti sebuah buku. Anis mungkin tidak tahu kalau caranya sesederhana itu. Ya, hanya dengan dua petunjuk saja aku bisa tahu pikirannya.

Aku duduk di ayunan sementara Anis masih sibuk mengedarkan pandangan untuk menangkap sosok Dyan. Tak lama berselang, seorang cowok setinggi 170 cm memasuki area taman sambil membawa kucing putih di pelukannya. Di pinggangnya yang ramping terdapat sebuah tas pinggang kulit warna coklat. Wajah cowok itu terkesan ramah, pipinya berisi, rambutnya tertutup topi sehingga aku tak tahu apakah rambutnya lurus atau keriting, hitam atau warna-warni? Apakah cowok ini yang dipanggil Dyan oleh Anis?

Mataku dengan cepat melirik Anis, oh! Dia sudah diam terpaku.

"Selamat pagi," sapa Anis ramah. Cowok itu tersenyum dan membalas sapaan Anis. Kucing putihnya juga ikut mengeong, tanda menyapa. Kucingnya lucu sekali, bulunya sangat tebal dan halus –tipe kucing yang rajin datang ke perawatan-, ah kucing kampung biasa itu jadi terlihat cantik dan elegan.

Dunia Kepenulisan I (The Writing World)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt