Chapter XI.A

30 7 0
                                    

-Sraylira Melati-

Kalau boleh jujur, saat ini aku butuh kemampuan berbicara dibandingkan mendengar. Meski aku sudah lulus dari kuliah jurusan Psikologi dan akan mendapatkan pekerjaan pertamaku sebagai psikolog mulai besok sore. Berhadapan dengan sosok datar yang mengingatkanku pada Luniel, benar-benar bukan hal yang menyenangkan. Situasi saat ini seperti berada di sebuah pemakaman. Aku bukan tipe yang suka berbicara, dan sebagai seorang psikolog aku lebih suka mendengar cerita orang –mungkin seharusnya aku membuka biro curhat-.

Sea duduk di hadapanku dengan setelan pakaian yang rapi, rambutnya disisir dan diberi gel, wajah sawo matangnya tampak bersih menunjukkan ia salah satu cowok yang hobi merawat diri, kuku-kuku jarinya juga dipotong pendek dan bersih. Tipe pembersih dan rapi?

Sudah lima belas menit dari pertama kali kami berada di kafe A ini. Sedari tadi Sea hanya duduk diam menungguku selesai membolak-balik naskah Firasat Ailee yang ia koreksi. Ia menandai beberapa bagian di naskah. Penguatan karakter yang belum cukup dan harus adanya penambahan konflik untuk menyemarakkan cerita. Aku membaca dan mempelajari semua yang harus aku revisi, sesekali aku melirik Sea yang tampak terlalu kaku. Gara-gara hal itu, aku jadi merasa tidak enak. Dia bukan tipe yang mudah akrab dengan orang lain, begitu juga aku.

Kali ini Sea meminum kopi hazelnutnya dengan perlahan. Pandangannya menunduk sembari menikmati tetesan kopi yang mengaliri kerongkongan. Aku menutup naskah dan melihat ke arahnya. "Aku akan mengirim naskah yang telah aku revisi sesegera mungkin," kataku pelan. Sea mendongakkan dan mengangguk, "Tapi, kalau bisa naskah revisi selesai minggu depan."

Sea kembali membuang matanya dari melihatku. Tangannya mengepal dan aku menangkap ada gemetar menjalar di tubuhnya. Apa-apaan dia? Dia menyukaiku? Salah satu ciri menyukai seseorang adalah ketika berada di dekat orang yang disukai maka tubuh akan gemetaran dan gugup lalu terjadilah salah tingkah dan tak berani bahkan untuk menatap orang tersebut –menurut pandangan psikologi cinta-. Ya, seperti itulah kira-kira. Ke-GR-an yang aku miliki saat ini memang sensitif.

"Apa kau memiliki masalah dengan perempuan?" Dengan penuh keberanian –mengingat aku seorang psikolog- aku melontarkan pertanyaan yang bersemayam di otakku pada Sea. Aku mengingat hari ketika Sea adu pendapat dengan Dyan tatkala aku ikut skenario Anis mengejar Dyan tempo dulu, Sea tampak lancar berbicara meski datar.

Dengan terbata-bata dan suara yang pelan Sea membalas pertanyaanku, "A-aku hanya grogi dengan perempuan karena aku lahir dan besar di lingkungan laki-laki. Sekolahku juga khusus laki-laki sampai lulus kuliah pun temanku hanya laki-laki, jadi maaf." Yak, masih dengan nada datar. Aku tersenyum kecil, "Kau hanya tidak terbiasa. Lebih baik sepertimu dibandingkan menjadi laki-laki penggila wanita."

"Kudengar kau di sini dari Dilly, jadi aku ke sini."

Sea dan aku menoleh pada suara cempreng yang berasal dari sisi kanan kami. Seorang gadis berambut pendek, memakai topi lebar dan dress putih selutut yang dihiasi pita merah berdiri dengan anggunnya. Sebuah senyuman menghiasi paras cantiknya. "Apa aku mengganggu?" sambungnya cepat.

Tuhan, mengapa Anis harus ke sini saat ini?

"Perkenalkan, ini Sea editorku..." Anis memandang Sea dengan cepat, ia segera menyodorkan tangan kanan dan menyebutkan nama. Sea dengan wajah tertunduk menerima tangan kanan Anis. Tak lama dari itu tubuhnya gemetaran dan ia melepaskan genggaman tangannya.

"Mela! Kau kenapa pelit sih ngasih kabar? Kau nggak ngasih kabar kalau naskahmu diterima! Masa' aku tahu dari Dilly." Mulai deh Anis sewot. Mengapa si Dilly harus ember ke sana-kemari? Dan, mereka akrab sekali sampai Anis tahu semuanya. Bicara apa saja mereka selama ini? Apa mereka sering bertemu? Mereka sering chatting?

Dunia Kepenulisan I (The Writing World)Where stories live. Discover now