It is Beautiful : 24

3.6K 344 132
                                    

Bosan.

Satu kata yang terus menguasaiku. Aku bosan berdiam di kamar ini. Bermain di luar? Aku tidak punya teman dekat.

Padahal, aku ingin sekali bermain dengan anak-anak lain yang sedang bersenang-senang di taman. Atau, aku ingin berteman akrab dengan beberapa teman sekelasku.

Tentu, umurku yang 10 tahun ini masih merasa ingin bersenang-senang seperti anak-anak yang bermain di luar sana. Mungkin, aku masih merasa seperti ini karena sendirian tidak memiliki teman.

Ya, aku kesepian.

Setidaknya, satu teman saja, itu sudah lebih dari cukup. Yang penting, aku tidak akan kesepian seperti ini.

Tapi, entahlah, apa yang sudah aku lakukan kepada mereka? Apa aku telah membuat kesalahan?

Kenapa ... mereka senang menjauh, membenci, dan menindas orang yang dipandang lemah?

Aku tidak mengerti.

GYURR.

"Hujan?" Aku berjalan ke arah jendela untuk melihat keadaan di luar. "Barusan, langit cerah, kok. Sekarang kenapa mendadak hujan?"

Bingung, aku menutup rapat jendelaku.

Hujan. Soal hujan, aku jadi teringat hujan gerimis yang mengguyurku ketika sedang melakukan perjanjian dengan Indra pada tiga hari yang lalu. Sampai sekarang, itu masih menjadi sebuah misteri bagiku; alasan mengapa hujan turun tanpa adanya awan.

Indra. Ah! Benar juga! Kalau aku panggil dia, apa dia mau berteman denganku? Apa partner sihir bisa dijadikan sebagai teman juga?

Semoga bisa!

Bersemangat, aku segera mengeluarkan sihirku dan tampaklah cahaya merah pada tanganku. Kemudian aku menapak telapak tanganku ke lantai.

Sebuah lingkaran sihir berwarna biru tosca muncul di lantai kamarku. Perlahan-lahan, seseorang muncul dari lingkaranku. Partner sihirku.

"Hai, Indra!" sapaku setelah sosok Indra itu sudah sepenuhnya ada di hadapanku.

Perlahan, Indra membuka kedua mata bermanik hijaunya. Seperti dua kristal yang tidak pernah tersentuh, mata teduh itu seakan-akan sudah mengundangku untuk berlama-lama melihat matanya.

Indah. Dia tersenyum tenang.

"Hai juga, Master," balas Indra menyapa. Dia tiba-tiba bertekuk lutut seperti seorang pengawal yang menghormati majikannya, "Saya siap melakukan perintah dari Anda."

Aku berpikir sambil melihat Indra. Kepalaku menggeleng-geleng, "Tidak ... tidak, jangan berlutut hormat begitu."

"Eh?" Indra tampak bingung ketika aku memegang kedua bahunya untuk menyuruhnya kembali berdiri. "Master?"

"Ayo, kembalilah berdiri," suruhku.

"Baik." Indra pun kembali berdiri seperti apa yang aku suruh.

"Aku tidak suka diperlakukan hormat seperti itu. Jadi, biasa sajalah padaku mulai dari sekarang," kataku. "Dan, aku memanggilmu karena ada yang harus aku bicarakan denganmu."

"Tapi Master, saya sebagai bawahan Anda harus menghormati Anda karena itu penting," protes Indra dengan volume bicaranya yang rendah. Kepalanya menunduk tidak berani menatap mataku.

"Penting? Menurutku tidak penting, karena sekarang kau adalah temanku. Kau mau berteman denganku, Indra?"

Indra tampak terkejut karena matanya agak lebih terbuka dari yang tadi. Mulutnya bergetar ingin mengatakan sesuatu.

It is BeautifulWhere stories live. Discover now