NINETH MONTH LIES

139 14 3
                                    

Author: beajinyoung

***

Ryu Jinhee adalah penulis asal Anyang, Korea Selatan. Banyak alasannya untuk menjadi penulis. Karena ia suka, karena ia imajinatif, karena ia kesepian.

Hingga pada usianya yang ke 24, tepat hari ulang tahunnya, kado paling indah baginya adalah menemukan Joe sebagai pengiring hidupnya.

Joe yang selalu ada dimana pun dia berada. Yang selalu ada saat ia memikirkannya. Yang selalu ada ketika orang-orang mengatakan bahwa dunianya telah berubah.

Joe adalah suatu keajaiban belaka.

Tapi ia percaya, bahwa keajaiban itu memang ada untuknya.

Ini terjadi dibulan September, awal musim gugur. Dijalan kecil nan sepi, kaki-kakinya melangkah. Langkah-langkah itu semakin lebar seiring detak jantungnya yang semakin memburu. Bahkan napasnya kini tak stabil lagi.

Ada seseorang yang menguntit.

Tidak. Yang harus ia lakukan hanyalah tenang dan berusaha optimis bahwa ia hanya sendiri.

Tapi semakin lama, degupannya semakin terasa. Keringat mulai membasahi pelipisnya. Sontak ia menengok ketakutan.

"Joe!"

Bukan Joe. Ataupun orang baik lainnya. Yang kini dihadapannya hanyalah seorang bertubuh sedang dengan topi hitam yang ia pakai. Tak lupa senyuman miring yang tergaris diwajahnya.

Ia kaget dan ketakutan menyadari bahwa yang sedari tadi menguntit bukanlah salah satu orang yang ia kenal. Yang ia dapatkan hanyalah rasa takut dan gugup yang semakin mengikat dadanya.

Majulah selangkah anjing manis!" Kata-kata itu seperti bulu domba yang dipinjang serigala hutan untuk menghangatkan tubuhnya.

Tiba-tiba seseorang dibelakangnya memegang kedua pundaknya. Lalu berbisik ditelinga kirinya.

"Tetap ditempat dan ikuti instingmu,"

"Joe?"

***

Sebetulnya ia tak tahu apa yang terjadi setelah ia berteriak keras malam kemarin. Tapi ia terbangun dari tidurnya diruang yang berbeda. Jauh lebih aman dari sebelumnya. Ia yakin, pasti Joe yang menolongnya. Joe memang selalu ada saat dibutuhkannya.

"Rumah sakit?"

"Saking sepinya, kamarku kau bilang rumah sakit. Nanti akan kucoba cat temboknya biar terlihat berwarna, deh,"

Seorang pria memasuki ruangan yang dihuninya. Dia terkekeh renyah dan duduk disisi kasur yang sama dengannya.

"Sudah membaik? Kau pingsan semalam. Maka dari itu, kalau kuliah jangan ambil jam malam,"

"Kau kan tidak kerja paruh waktu. Penulis bisa menulis kapan saja, bukan?"

Dia penguntitnya? Sepertinya bukan. Wajahnya berbeda dari yang semalam menatap tajam matanya. Tapi sepertinya ia mengenal orang ini. Entah kapan, tapi wajahnya tak asing baginya.

"Kau siapa?"

"Temanku mana?"

"Sudah pulang. Dia mentitipkanmu padaku. Dia ingin berkencan dengan pacarnya,"

"Tidak mungkin. Joe tidak punya kekasih."

"Ada banyak hal tentang pria yang tak kau tahu."

Selang beberapa detik sebelum menerima kenyataan, gadis itu menangis. Mulailah sesegukkan suaranya. Rasanya sakit sekali sampai kau lupa masih banyak yang memberi hatinya padamu.

Selama ini ia percaya bahwa Joe selalu untuknya. Ia percaya bahwa Joe tak akan mengecewakannya. Tapi nyatanya, ia hanya merasakan seperti patah hati yang kebanyakan orang rasakan.

Mingyu berbohong. Ia meruntuki dirinya yang selalu saja berbohong setiap bertemu gadis ini. Semuanya ia lakukan agar ia dapat berhenti menerima kenyataan gadisnya mencintai pria lain. Ia ingin gadis itu melihat ke arahnya.

Tapi yang ia dapatkan hanyalah rasa teriris.

Sakitnya, mengingat gadis yang ia cinta menyukai pria lain.

Sakitnya, melihat gadis yang ia cintai menangis untuk pria lain.

Sakitnya, mengetahui gadis yang ia cintai bukanlah gadis yang sama seperti gadis lainnya.<br>

Sakitnya, menerima kenyataan bahwa gadis yang ia cintai mencintai karakter hayalannya sendiri.

Gadis itu hanya mencintai fantasinya sendiri. Selama ini, Mingyu hanya mempercayai apa yang gadis itu kehendaki. Berbicara dan melangkah bersamanya, meskipun hanya menjadi orang ketiga antara gadis itu dengan karakter hayalannya. Dan beberapa jam kemudian, ia dilupakan. Bahkan gadis itu sampai tak mengenalinya yang nyatanya adalah orang yang mengasihinya 4 tahun ini.

"Aku akan membalasnya tenang saja,"

"Berhenti menangis!"

Mingyu mengumpat senyumnya saat memikirkan ia tengah menggenggam tangan gadis itu saat ini. Terasa sangat bahagia meskipun hanya hal sederhana.

Ia membawa gadis itu keluar menikmati musim gugur hari ini. Terkadang ia bergurau dan mengarang suatu cerita tentangnya guna memberi rasa nyaman pada gadis itu. Sesekali Jinhee tertawa. Sesederhana itu kebahagiaannya.

"Apa dia bersama kita?"

"Nugu?"

"Joe. Teman sialanmu,"

"Ya!" Jinhee mencubit perut Mingyu. Pria itu hanya mengerang kesakitan sesaat. Lagi-lagi, ia membela bayangannya lagi.

"Dia bahkan membuntuti kita sambil menatap tak suka. Sepertinya dia tak suka padamu,"

"Oh, ya? Aku juga tidak suka padanya,"

"Dimana orangnya? Bawa ke hadapanku!"

"Yang benar? Aku panggil, ya?"

Mingyu menjawabnya dengan anggukan.

Benar saja. Jinhee terlihat tengah menggandeng angin ke depannya. Dia tersenyum senang.

"Joe, kenalkan. Ini teman kampusku, Mingyu,"

"Mingyu, ini Joe,"

Hei, bung."

"Lepaskan dia sebelum aku yang melepaskanmu ke sungai,"

"Mingyu!" Terlihat jelas dihadapan Mingyu, Jinhee tampak geram dengan kata-katanya pada Si Joe.

"Joe tentu saja tidak akan melakukannya. Dia sangat mencintaiku,"

"Oh begitu?"

"Geurae!"

Sama seperti yang gadis itu lakukan, Mingyu memperagakan bagaimana ia menarik seorang pria didepannya dan mendorongnya ke dasar sungai Han dari atas jembatan.

"Mingyu? Kau?"

air mata gadis itu mulai menetes satu persatu. Lagi-lagi gadis itu menangis histeris. Hal itu membuat Mingyu semakin teriris

"Joe!!!"

"Kau penjahat, gyu!"

Secepat kilat, Mingyu mendekap gadis itu. Terasa didadanya bagaimana gadis itu menolak dekapannya. Tapi ia lega. Ini sudah berakhir.

"Dia itu hanyalah hantu."

=THE END=

ROOM 3Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz