3.0 || Marah

90K 5.8K 215
                                    

Langkah kaki Aletha membawanya ke rumah pohon. Di sana Aletha akan mencurahkan segala isi hatinya kepada dunia. Dia tidak membutuhkan siapapun kali ini, yang ia perlukan hanyalah Alfa yang kembali datar dan dingin sebelum ada kejadian itu.

Aletha berkali-kali menghembuskan napasnya. Seperti ada rasa sesak yang selalu hinggap di pikirannya ketika ia mengingat bentakan Alfa dan berkata bahwa ia lebih memilih Clarisa daripada dirinya. Siapa Clarisa? Kenapa Alfa tidak pernah memberi tahunya tentang perempuan itu?

"Tuhan, Aletha memang berjanji akan menjauh dari Alfa lagi. Tapi kenapa dia harus buat Aletha ngerasa sedih kayak gini? Kenapa ada rasa sakit disaat Alfa nyebut nama orang lain?" Aletha menyandarkan tubuhnya di sofa lalu ia merobek salah satu kertas yang ada di dalam bukunya. Tangannya yang lincah, mulai menulis diatas kertas itu.

Senja, aku ingin kamu menyampaikan kepadanya.

Sampaikan kalau aku di sini selalu menunggunya untuk kembali seperti dulu.

Aku di sini yang merasakan betapa sulitnya menahan cairan bening yang akan keluar dari mataku.

Aku di sini selalu ada untuknya walaupun mungkin dia tidak akan mengetahuinya.

Senja, aku ingin kamu membisikkan sesuatu kepadanya.

Bisikanlah kalau aku selalu memikirkannya setiap malam.

Memohon kepada semesta malam untuk selalu menjaganya.

Menjaganya dari keheningan yang selama ini ia rasakan.

Senja, aku ingin kamu selalu menemani harinya.

Sama seperti bintang yang tidak pernah meninggalkan malam.

Sama seperti matahari yang tidak akan pernah meninggalkan siang.

Sama seperti aku yang selalu datang di setiap keheningannya.

Senja, sampaikan sekali lagi kepadanya, kalau aku rindu dengannya.

Aletha melipat kertas itu lalu ia selipkan lagi di bukunya. Dan ia bangkit lalu berjalan ke ujung rumah pohon dan duduk di atas sana. Kakinya ia ayunkan ke depan dan belakang. Sambil sesekali bersenandung dan memutar memorinya dengan Alfa. Memori dimana ia dan Alfa masih menjadi seperti tikus yang cerewet dan kucing yang kasar.

Aletha masih merindukannya. Sampai saat ini. Ia tidak mengerti kenapa wajah Alfa selalu muncul disaat ia memejamkan matanya. Wajah disaat Alfa menatapnya dengan tatapan lembut dan tidak tajam. Wajah disaat ia menampilkan sedikit senyumannya.

Oh ya, Aletha melupakan Prita, bagaimana dengannya? Dia baik-baik saja? Aletha harap, Prita baik-baik saja walaupun tanpa dirinya yang ada menemaninya.

"Kombi, kalau Aletha udah jauh kayak gini, apa mungkin kombi bisa mengurangi sifat dingin kombi itu? Aletha gamau kalau sampai ada orang lain yang bernasib sama seperti Aletha," ucapnya sambil termenung.

Lalu Aletha memilih untuk kembali duduk di sofa dan menyenderkan kembali tubuhnya. Sedetik kemudian kedua bola matanya mengeluarkan cairan yang langsung bebas membasahi pipinya. Tiba-tiba saja cairan itu keluar tanpa Aletha persilahkan. Aletha tau kalau cairan ini keluar karena ia masih merasa bersalah dengan Alfa. Dan kejadian itu terjadi di tempat ini. Di tempat dimana Aletha pertama kali merasakan bahagia dan pertama kali merasakan sakit yang tidak bisa dijelaskan.

Cairan itu masih keluar. Sejujurnya ia bingung, apa yang sebenarnya ia pikirkan? Clarisa? Untuk apa memikirkannya, mengetahui orangnya saja, tidak. Tapi Aletha tetap mengulang nama Clarisa di kepalanya. Entah, ia tidak tau apa gunanya. Tapi ia merasakan sakit ketika Alfa berkata bahwa ia lebih membutuhkan Clarisa dibandingkan dirinya.

Impressed [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant